“Femisida bukan sekadar pembunuhan, melainkan ekspresi paling brutal dari budaya kekerasan terhadap perempuan yang dilegitimasi diam-diam oleh sistem hukum yang bias.”
Kekerasan yang Berulang, Femisida yang Tak Diakui
Kekerasan terhadap perempuan bukanlah sekadar berita kriminal. Ia adalah bagian dari pola yang berulang, sistemik, dan terstruktur. Dalam sepekan terakhir (data Kompas, 2024), setidaknya terjadi tiga kasus kekerasan berat terhadap perempuan di wilayah Jabodetabek. Dua di antaranya berakhir dengan kematian. Mirisnya, dalam sebagian besar kasus ini, pelakunya adalah pasangan atau mantan pasangan korban.
Temuan ini menggarisbawahi satu hal: perempuan belum benar-benar aman, bahkan di ruang paling pribadi mereka sendiri. Rumah, yang seharusnya menjadi tempat paling terlindungi, justru menjadi medan paling mematikan bagi banyak perempuan di Indonesia.
Femisida dan Ketimpangan Hukum
Femisida, pembunuhan terhadap perempuan karena identitas gendernya belum diakui secara eksplisit dalam sistem hukum Indonesia. Padahal, ini adalah kategori kriminal yang diakui di berbagai negara Amerika Latin, seperti Meksiko dan Argentina, sebagai bentuk kekerasan paling ekstrem berbasis gender. Tanpa nomenklatur yang jelas, negara tak punya alat untuk mengukur, mencegah, apalagi menindak secara adil.
Sistem peradilan pidana kita masih bekerja dengan logika netral gender. Sayangnya, dalam praktiknya, netralitas ini justru kerap mengaburkan relasi kuasa yang timpang. Contohnya, banyak pelaku kekerasan yang dijatuhi hukuman ringan karena adanya narasi pembenaran: “korban selingkuh”, “pelaku emosi sesaat”, atau “tidak bermaksud membunuh”.
Di sisi lain, ketika perempuan menjadi pelaku kekerasan karena membela diri dari kekerasan berkepanjangan, mereka dihukum berat. Lihatlah kasus-kasus seperti Baiq Nuril atau Yuyun, yang menggambarkan bagaimana hukum kerap gagal memahami pengalaman hidup perempuan korban.
Feminist Legal Reform: Strategi Keadilan yang Berpihak
Feminist Legal Reform adalah pendekatan hukum yang tidak hanya mengedepankan keadilan prosedural, tetapi juga keadilan substantif berbasis pengalaman perempuan. Ini mencakup:
Reformasi substansi hukum, termasuk memasukkan unsur relasi kuasa dalam pertimbangan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pembunuhan pasangan, dan kekerasan seksual.
Pelatihan aparat penegak hukum (APH) tentang perspektif gender agar mereka tidak sekadar melihat hukum hitam di atas putih, tetapi mampu membaca konteks sosial di balik tindakan kriminal.
Penyediaan sistem perlindungan terintegrasi, seperti rumah aman, konseling, bantuan hukum gratis, serta mekanisme pengaduan yang ramah dan aman.
Pengakuan femisida sebagai tindak pidana khusus, dengan sistem pencatatan nasional yang mampu memetakan tren dan bentuk kekerasan ekstrem berbasis gender.
Reformasi ini tidak bisa hanya ditopang oleh negara. Ia memerlukan keterlibatan semua pihak: masyarakat sipil, akademisi, media, dan komunitas korban.
Jalan Sunyi Perempuan Melawan Sistem
Mendorong Feminist Legal Reform bukanlah langkah populis. Ini adalah kerja sunyi, penuh resistensi, dan memerlukan perubahan cara pandang terhadap hukum itu sendiri. Bahwa hukum bukanlah entitas netral dan final. Ia bisa bias. Ia bisa gagal. Tapi ia juga bisa diperjuangkan.
Perempuan yang menjadi korban kekerasan selama ini tak hanya berhadapan dengan pelaku. Mereka juga harus berhadapan dengan institusi yang sering kali lebih ingin menenangkan ketertiban sosial ketimbang memberikan keadilan. Mereka dipaksa membuktikan luka yang tak terlihat, menjelaskan penderitaan yang tidak terdokumentasi, dan bertahan di tengah pandangan sinis bahwa mereka “mencari perhatian”.
Menuju Keadilan Sosial bagi Perempuan
Keadilan sosial tidak pernah netral. Ia harus berpihak. Dalam konteks femisida dan kekerasan ekstrem terhadap perempuan, keadilan hanya bisa dicapai bila kita mau melihat pengalaman hidup perempuan sebagai bagian dari argumen hukum.
Saat negara gagal mengakui femisida sebagai kejahatan sistemik, saat aparat penegak hukum tidak memahami dinamika kekerasan berbasis gender, dan saat masyarakat terus menyalahkan korban, maka kita sedang membiarkan kekerasan itu terus berlangsung.
Feminist Legal Reform adalah jembatan menuju sistem hukum yang manusiawi, adil, dan setara. Jalan ini memang sunyi. Tapi bukan berarti kita harus berjalan sendirian.