Di era digital yang semakin terhubung, media sosial telah menjadi panggung publik yang tidak hanya menyebarkan informasi, tetapi juga membentuk gaya hidup. Salah satu fenomena yang mencolok adalah maraknya budaya flexing—menunjukkan kekayaan, barang-barang mewah, atau gaya hidup glamor secara berlebihan demi pengakuan sosial. Meskipun sekilas tampak sebagai ekspresi diri atau motivasi, budaya ini justru menanamkan nilai-nilai konsumtif yang berisiko tinggi, terutama bagi generasi muda.
Flexing: Gaya Hidup atau Tekanan Sosial?
Flexing bukan lagi sekadar tren sesaat. Di berbagai platform seperti Instagram, TikTok, hingga YouTube, pengguna berlomba memamerkan barang branded, liburan mahal, atau pencapaian material. Namun yang menjadi masalah adalah ketika tindakan ini menimbulkan tekanan sosial bagi orang lain untuk tampil serupa, meskipun harus mengorbankan kondisi finansial yang belum siap (Wulandari, 2023).
Studi juga menunjukkan bahwa banyak individu, terutama anak muda, merasa tertinggal atau rendah diri ketika tidak mampu menampilkan gaya hidup serupa. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka terjerumus dalam perilaku konsumtif, bahkan berutang demi memenuhi ekspektasi gaya hidup digital (Neraca, 2023).
Dampak Psikologis dan Finansial
Budaya flexing berisiko menimbulkan gangguan psikologis, seperti rendahnya harga diri, kecemasan sosial, hingga perasaan tidak pernah cukup. Ketika validasi diri diukur dari jumlah likes, views, atau komentar, maka kebahagiaan menjadi sesuatu yang semu dan sangat bergantung pada opini publik digital.
Lebih dari itu, dorongan untuk mengikuti gaya hidup konsumtif juga berdampak langsung pada kestabilan keuangan. Banyak kasus di mana orang rela berutang melalui paylater, kartu kredit, atau pinjaman online demi tampil mewah di media sosial. Gaya hidup ini menjebak dalam siklus konsumsi yang tidak sehat dan jauh dari prinsip pengelolaan keuangan yang bijak (Neraca, 2023).
Generasi Muda di Persimpangan Nilai
Generasi muda Indonesia, yang saat ini menjadi pengguna utama media sosial, berada dalam persimpangan antara nilai konsumtif dan nilai produktif. Di satu sisi, mereka dibanjiri oleh konten yang mengagungkan kekayaan dan penampilan. Di sisi lain, mereka juga memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan melalui digital creativity, kewirausahaan, dan gerakan literasi finansial.
Namun tanpa pendampingan yang tepat—baik dari keluarga, sekolah, maupun masyarakat—generasi muda bisa kehilangan arah dan menjadikan konsumsi sebagai identitas utama. Fenomena ini juga memperkuat kesenjangan sosial digital, di mana keberhasilan diukur dari tampilan luar, bukan dari proses atau pencapaian yang autentik (Wulandari, 2023).
Peran Edukasi dan Literasi Digital
Salah satu langkah penting untuk menghadapi tren ini adalah meningkatkan literasi digital dan literasi keuangan di kalangan masyarakat, khususnya pelajar dan mahasiswa. Literasi digital tidak hanya mengajarkan cara menggunakan teknologi, tetapi juga cara menyikapi informasi, memahami realitas media sosial, serta mengembangkan daya kritis terhadap konten konsumtif.
Sementara itu, literasi keuangan membantu anak muda memahami pentingnya menabung, berinvestasi, dan membedakan kebutuhan dari keinginan. Edukasi ini perlu dimasukkan ke dalam kurikulum formal maupun disebarluaskan melalui platform digital agar menjangkau generasi yang hidup di dunia maya.
Menuju Gaya Hidup yang Lebih Sehat dan Otentik
Media sosial seharusnya menjadi tempat berbagi inspirasi dan kreativitas, bukan ajang kompetisi konsumsi. Sudah saatnya kita membangun budaya digital yang lebih sehat, yang menghargai keaslian, proses, dan nilai-nilai sederhana. Mengangkat kisah perjuangan, kerja keras, atau kreativitas jauh lebih berdampak dibanding sekadar unjuk kemewahan.
Kesimpulan
Fenomena flexing dan gaya hidup konsumtif adalah cermin dari nilai-nilai yang sedang diuji di era digital. Generasi muda perlu dibekali dengan kesadaran, literasi, dan kekuatan untuk tidak terjebak dalam citra palsu yang dibentuk oleh media sosial. Karena sejatinya, nilai seseorang tidak ditentukan dari apa yang ditampilkan di layar, tetapi dari integritas, usaha, dan kontribusi nyata dalam kehidupan.
Penulis: Enjelin Amanda Dewi
Sumber gambar: istockphoto.com