Surabaya, 7 Juli 2025
Laskar Pelangi: Nyanyian Subaltern dari Belitong
Film Laskar Pelangi (2008) bukan sekadar karya hiburan, melainkan juga sebuah artefak budaya yang sarat makna. Ia membuka jendela untuk memahami relasi kuasa, perlawanan, serta pencarian identitas dalam konteks sosial Indonesia. Berlatar Belitong, sebuah wilayah yang kerap terpinggirkan dalam narasi pembangunan nasional, film ini menggambarkan dengan kuat perjuangan anak-anak miskin dalam meraih pendidikan, seraya menyampaikan kritik tersirat terhadap dominasi dan ketimpangan struktural.
Subkultur Pendidikan di Tengah Kemiskinan
Pusat dari narasi Laskar Pelangi adalah kemunculan sebuah subkultur pendidikan yang tumbuh di luar arus utama. Di tengah keterbatasan fasilitas dan kemiskinan yang mencekik, SD Muhammadiyah—tempat anak-anak ini belajar di bawah asuhan Bu Muslimah dan Pak Harfan—menjadi ruang alternatif untuk tumbuh dan belajar. Di sana, mereka tidak hanya mendapatkan pelajaran akademis, tetapi juga menanamkan nilai-nilai seperti solidaritas, harapan, dan ketekunan. Subkultur ini menjadi bentuk perlawanan kultural terhadap pandangan dominan yang kerap menyamakan kemiskinan dengan kebodohan dan ketakberdayaan.
Struktur Kekuasaan: Refleksi dan Perlawanan
Cerminan Struktur Sosial:
Film ini secara jelas memperlihatkan bagaimana struktur kekuasaan ekonomi dan sosial—yang diwakili oleh dominasi PT Timah, logika kapitalistik, dan ketidakhadiran negara—secara langsung memengaruhi kehidupan masyarakat Belitong, khususnya dalam akses terhadap pendidikan. Bangunan SD Muhammadiyah yang reyot adalah simbol konkret dari proses peminggiran ini.
Bentuk Perlawanan:
Meski dalam kondisi serba kekurangan, para murid dan guru memilih untuk tidak menyerah. Keteguhan mereka menjadi bentuk perlawanan terhadap sistem yang tidak berpihak. Mereka menolak pandangan bahwa pendidikan hanya untuk mereka yang mampu secara ekonomi, atau bahwa daerah terpencil tidak layak mendapat perhatian. Sosok Arai yang berhasil menembus dunia akademik internasional menjadi representasi kuat bahwa kemiskinan tidak seharusnya membatasi cita-cita.
Upaya Mempertahankan Kekuasaan Secara Terselubung:
Menariknya, meskipun film ini memuat pesan-pesan kritis, nuansa optimistisnya justru secara tidak langsung berpotensi memperkuat tatanan yang ada. Penekanan pada kisah inspiratif individu seperti Ikal, Lintang, dan Arai—yang berhasil karena kegigihan mereka sendiri—membawa risiko mereduksi masalah struktural menjadi persoalan personal. Framing semacam ini bisa memunculkan ilusi bahwa siapa pun bisa sukses jika cukup berusaha, tanpa mengindahkan ketimpangan sistemik yang lebih luas. Di titik inilah film bersinggungan dengan ideologi meritokrasi, yang menempatkan keberhasilan sebagai hasil kerja keras semata, dan bukan sebagai produk dari sistem yang turut membentuknya.
Suara Subaltern dan Representasi yang Terpinggirkan
Film ini juga memberi ruang bagi mereka yang sering kali tak terdengar dalam narasi arus utama. Anak-anak miskin dan guru-guru yang mengabdi dengan segala keterbatasan adalah wajah dari kelompok subaltern—yang biasanya tidak memiliki akses untuk berbicara dalam struktur wacana dominan. Melalui Laskar Pelangi, pengalaman mereka dimunculkan ke permukaan dan diberi tempat dalam ruang publik.
Ideologi yang Diangkat: Refleksi, Perlawanan, dan Pelestarian
Refleksi atas Ideologi Pembangunan:
Laskar Pelangi mengungkap realitas ideologi pembangunan yang terpusat, di mana wilayah seperti Belitong lebih sering diposisikan sebagai penyedia sumber daya, alih-alih sebagai wilayah yang juga layak mendapat pembangunan yang menyeluruh dan berkeadilan.
Penolakan terhadap Ideologi Dominan:
Dengan menggambarkan semangat juang dan potensi luar biasa dari anak-anak di pelosok, film ini menolak anggapan bahwa daerah terpencil adalah beban pembangunan. Ia menunjukkan bahwa kecerdasan dan aspirasi tidak mengenal batas geografis maupun ekonomi, selama ada akses dan dukungan.
Kemungkinan Pelestarian Ideologi Individualistik:
Meski begitu, seperti telah disinggung, penekanan film pada kisah perjuangan personal bisa dilihat sebagai reproduksi ideologi yang menempatkan tanggung jawab perubahan hanya pada individu. Ini berisiko menutupi tanggung jawab struktural—baik dari negara maupun korporasi—dalam menyelesaikan persoalan mendasar seperti kemiskinan dan kesenjangan pendidikan.
Budaya Populer dan Dampak Sosial
Keberhasilan Laskar Pelangi secara komersial dan kultural—baik melalui film, buku, maupun adaptasi ke berbagai media lain—menunjukkan bahwa karya ini telah menjadi bagian dari budaya populer Indonesia. Ia bukan hanya hiburan, tetapi juga alat refleksi sosial. Film ini membuka ruang diskusi publik mengenai isu-isu pendidikan, kemiskinan, dan ketimpangan sosial. Bahkan, dalam beberapa kasus, pengaruhnya sampai memengaruhi arah kebijakan, seperti meningkatnya perhatian terhadap pendidikan di wilayah-wilayah terluar pasca-popularitas film ini.
Refleksi Kritis
Laskar Pelangi menawarkan gambaran yang kuat tentang perjuangan di pinggiran, namun juga menyisakan ruang tafsir kritis. Satu sisi, film ini menginspirasi; di sisi lain, ia bisa menjadi jebakan narasi tunggal yang mengabaikan kompleksitas sistemik. Dalam konteks ini, narasi personal harus dipadukan dengan kesadaran kolektif akan pentingnya perubahan struktural agar perjuangan seperti yang digambarkan tidak berhenti pada kisah-kisah heroik semata.
Rumusan Tindakan Praksis
Memperluas akses dan infrastruktur pendidikan di wilayah-wilayah yang termarginalkan.
Mengintegrasikan pendidikan kritis yang mampu membuka kesadaran peserta didik terhadap realitas sosial dan mendorong tindakan kolektif.
Mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam perumusan kebijakan pembangunan pendidikan yang sesuai konteks daerah.
Membangun aliansi antara negara, masyarakat sipil, dan sektor swasta dalam mendukung keadilan pendidikan, tanpa menjadikan tanggung jawab itu sepenuhnya beban individu.
Tawaran Pemikiran: Teori Tindakan Emansipatoris
Untuk memahami dan merespons fenomena seperti yang digambarkan dalam Laskar Pelangi, kita bisa merujuk pada pemikiran Jürgen Habermas tentang tindakan komunikatif dan emansipatoris. Menurut Habermas, perubahan sosial sejati tidak bisa hanya dicapai melalui rasionalitas instrumental (hasil/kinerja), tetapi harus melalui komunikasi yang membebaskan—di mana semua pihak yang terlibat mampu berbicara dalam posisi setara tanpa dominasi.
Dalam konteks ini, pendidikan seharusnya menjadi sarana emansipasi—bukan sekadar mobilitas sosial. Sekolah seperti SD Muhammadiyah perlu dilihat bukan hanya sebagai tempat mengajar, tetapi sebagai ruang dialog kritis, tempat anak-anak diajak memahami ketidakadilan dan dibekali untuk mengubahnya.
Refleksi Kritis
Laskar Pelangi menawarkan gambaran yang kuat tentang perjuangan di pinggiran, namun juga menyisakan ruang tafsir kritis. Satu sisi, film ini menginspirasi; di sisi lain, ia bisa menjadi jebakan narasi tunggal yang mengabaikan kompleksitas sistemik. Dalam konteks ini, narasi personal harus dipadukan dengan kesadaran kolektif akan pentingnya perubahan struktural agar perjuangan seperti yang digambarkan tidak berhenti pada kisah-kisah heroik semata.
Referensi
ejournal3.undip.ac.id
mayadikasukmanirmala.blogspot.com
text-id.123dok.com
questionai.id