Penggalan lagu wajib yang begitu menggugah ini tentu tak asing bagi generasi X hingga milenial. Lagu Maju Tak Gentar karya Cornel Simanjuntak yang diciptakan pada tahun 1944, mengusung semangat patriotisme yang kuat dan menanamkan nilai bela negara pada generasi awal Indonesia merdeka. Namun, ironi terjadi ketika lagu ini kini diplesetkan oleh sebagian Gen-Z dan Gen Alpha menjadi “Maju Tak Gentar Membela yang Bayar.” Hilang sudah semangat juang. Rasa kebangsaan pun mulai luntur. Lantas, di mana letak kesalahannya?
Pada hakikatnya, bela negara adalah hak sekaligus kewajiban setiap warga negara. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional mendefinisikan bela negara sebagai tekad, sikap, perilaku, dan tindakan warga negara—baik secara individu maupun kolektif—dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, serta keselamatan bangsa dan negara, yang dilandasi oleh kecintaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Wawasan kebangsaan, bela negara, dan cinta tanah air seharusnya ditanamkan sejak dini—di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Namun kini, realitas berkata lain. Sekolah seolah hanya menjadi tempat meningkatkan kecerdasan intelektual (IQ), sementara masyarakat tampak abai terhadap pembentukan karakter generasi muda. Upacara bendera yang seharusnya menjadi bentuk penghormatan atas jasa pahlawan, justru dianggap sebagai beban “berpanas-panasan.” Perayaan Hari Kemerdekaan yang semestinya menjadi momen refleksi dan syukur, kini terasa hanya sebagai rutinitas tanpa makna.
Pemahaman sempit tentang bela negara yang hanya dikaitkan dengan tugas TNI dan Polri dalam menghadapi ancaman fisik eksternal menunjukkan perubahan paradigma akibat kurikulum pendidikan yang kurang mengakomodasi nilai-nilai kebangsaan secara utuh. Padahal, di era digital seperti sekarang—di tengah pesatnya perkembangan Internet of Things, big data, dan kecerdasan buatan (AI)—ancaman terhadap bangsa tidak lagi semata berbentuk fisik, tetapi juga bersifat masif melalui dunia maya.
Ancaman itu datang dari maraknya penyalahgunaan teknologi, seperti minimnya literasi digital, penyebaran hoaks, judi online, pencurian data pribadi, pornografi, hingga radikalisme digital. Semua ini diperparah oleh kurangnya regulasi ketat serta minimnya edukasi bijak dalam menggunakan media sosial. Akibatnya, timbul konflik vertikal dan horizontal, kebencian antarsuku, agama, ras, serta peningkatan kasus perundungan siber, diskriminasi gender, dan kriminalitas.
Lebih jauh, degradasi karakter bangsa tampak jelas melalui perilaku egois, pelanggaran hukum, minimnya etika dan disiplin, korupsi, perusakan lingkungan, serta vandalisme terhadap fasilitas umum. Hal ini menunjukkan urgensi pembentukan karakter di sekolah melalui pendidikan budi pekerti yang integratif. Sayangnya, masih banyak tenaga pendidik yang belum kompeten dalam menerapkan nilai moral dan akhlak dalam pembelajaran. Maka, guru sebagai agen perubahan harus dibekali dengan kemampuan menanamkan wawasan kebangsaan, toleransi, persatuan, kebhinekaan, dan semangat patriotisme.
Ki Hajar Dewantara pernah menyampaikan konsep Tri Pusat Pendidikan: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Artinya, keluarga juga memegang peranan penting dalam membentuk karakter anak. Maka, setelah membahas peran pemerintah dan pendidikan, mari kita soroti peran keluarga. Beberapa langkah sederhana, murah, dan efektif yang dapat dilakukan keluarga dalam menumbuhkan cinta tanah air di era teknologi antara lain: mengajarkan pola hidup sehat, mendukung hobi anak dengan teknologi bermanfaat seperti game edukatif atau e-sport yang diperlombakan, mengajarkan keterampilan multimedia, desain digital, hingga ekonomi kreatif berbasis daring.
Dengan perencanaan dan kolaborasi dari tingkat keluarga hingga pemerintah, kita bisa membangun benteng karakter bangsa yang tangguh. Setiap warga negara harus terus disegarkan dengan kesadaran akan pentingnya bela negara. Ingatan kolektif yang menyatukan Sabang hingga Merauke harus didekatkan kembali kepada generasi muda, agar cita-cita bangsa seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dapat terwujud di masa depan.