Wajah dunia pendidikan kontemporer tengah dihadapkan pada sebuah tantangan kompleks yang lahir dari rahim kemajuan teknologi. Perundungan, yang secara tradisional dipahami sebagai tindakan agresif di lingkungan fisik seperti sekolah, kini telah berevolusi dan meluaskan arenanya ke ruang siber yang tak terbatas. Fenomena yang dikenal sebagai perundungan siber (cyberbullying) ini bukan lagi sekadar pemindahan lokasi, melainkan sebuah metamorfosis yang mengubah bentuk, intensitas, dan dampak kekerasan itu sendiri. Di sinilah lahir julukan “Generasi Jempol Pedas”, sebuah representasi bagi para pelajar yang jemarinya begitu tangkas merangkai kata-kata menyakitkan, namun sering kali gagap nurani saat melakukannya.
Permasalahan ini menjadi krusial mengingat data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan penetrasi internet pada kelompok usia 13-18 tahun telah mencapai 99,16%. Angka ini menandakan bahwa hampir seluruh kehidupan sosial pelajar berkelindan dengan dunia digital. Sejalan dengan itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) secara konsisten menerima laporan kasus perundungan yang menunjukkan tren mengkhawatirkan. Terjadi sebuah anomali: adab dan etika yang diajarkan di rumah dan sekolah seolah menguap saat seorang anak memasuki dunia maya. Karya tulis ini bertujuan untuk mengurai secara lebih dalam bagaimana fenomena perundungan siber menjadi akar dari krisis adab yang nyata, menganalisis faktor pendorongnya, serta merumuskan pendekatan solutif yang relevan.
Perbedaan mendasar antara perundungan tradisional dan siber terletak pada karakteristiknya yang unik. Pertama, perundungan siber bersifat persisten; ia tidak berhenti saat bel pulang sekolah berbunyi. Teror digital bisa datang kapan saja, 24 jam sehari, menghantui korban hingga ke dalam ruang privatnya melalui layar gawai. Kedua, ia bersifat permanen, di mana konten digital yang merendahkan seperti foto, video, atau komentar dapat tersimpan selamanya dan disebarkan ulang tanpa batas. Faktor ketiga dan yang paling signifikan adalah anonimitas. Di balik layar, pelaku merasa lebih berkuasa dan kebal hukum. Kondisi psikologis ini dikenal sebagai online disinhibition effect, yaitu hilangnya hambatan sosial dan moral yang membuat seseorang berani melakukan hal-hal yang tidak akan pernah dilakukannya di dunia nyata.
Lantas, apa yang mendorong seorang pelajar menjadi “jempol pedas”? Salah satu akar utamanya adalah defisit empati digital. Interaksi daring yang minim isyarat non-verbal—tanpa ekspresi wajah, intonasi suara, atau bahasa tubuh—membuat pelaku kesulitan memahami dan merasakan dampak emosional dari tindakannya. Bagi mereka, targetnya hanyalah sebuah akun, bukan manusia dengan perasaan. Selain itu, ada dorongan kuat untuk pencarian validasi sosial. Dalam ekosistem media sosial yang berbasis popularitas, tindakan merundung atau melontarkan komentar sinis terkadang dianggap sebagai cara untuk terlihat dominan, lucu, atau keren di mata teman sebayanya. Perilaku ini semakin diperparah oleh normalisasi konten negatif yang mereka konsumsi setiap hari, yang membuat batasan antara kritik, humor, dan penghinaan menjadi sangat tipis dan kabur.
Dampak dari budaya digital yang toksik ini tidak berhenti di dunia maya. Ia merembes deras ke dalam perilaku sehari-hari dan menjadi pemicu krisis adab. Data dari Digital Civility Index (DCI) Microsoft beberapa tahun lalu yang menempatkan netizen Indonesia pada tingkat kesopanan yang rendah di Asia Tenggara adalah sinyal kuat dari masalah ini. Di lingkungan sekolah, manifestasinya terlihat jelas: siswa menjadi lebih berani melawan guru dengan bahasa yang tidak pantas, penggunaan kata-kata kasar dalam percakapan menjadi lumrah, dan tingkat kepedulian sosial terhadap sesama teman menurun drastis. Untuk memutus rantai negatif ini, diperlukan pendekatan kolaboratif. Sekolah harus bergerak lebih dari sekadar melarang penggunaan gawai, yaitu dengan mengintegrasikan kurikulum literasi digital yang mengajarkan etika, empati, dan tanggung jawab. Di sisi lain, peran orang tua sebagai pendamping dan teladan digital menjadi sangat vital. Komunikasi yang terbuka mengenai aktivitas anak di dunia maya dan penerapan aturan main digital di rumah adalah fondasi utama untuk membangun perisai pelindung.
Sebagai kesimpulan, fenomena “Generasi Jempol Pedas” adalah sebuah gejala serius dari krisis karakter yang dipercepat oleh kemajuan teknologi. Perundungan siber, dengan segala kompleksitasnya, merupakan cerminan dari kegagalan kita menanamkan nilai-nilai empati dan adab dalam ruang interaksi baru yang bernama dunia maya. Ini bukanlah sekadar masalah kenakalan remaja, melainkan isu pendidikan fundamental yang menuntut respons cepat dan terstruktur.
Oleh karena itu, solusi yang paling mendesak adalah mengubah paradigma dari pendekatan hukuman yang reaktif menjadi pendidikan yang proaktif. Institusi pendidikan, keluarga, dan masyarakat harus bersinergi untuk membekali generasi muda dengan kecerdasan digital (digital intelligence) yang seimbang dengan kecerdasan emosional. Kita perlu mendidik mereka bukan hanya untuk menjadi pengguna teknologi yang cerdas, tetapi juga untuk menjadi manusia yang beradab dan penuh welas asih. Pada akhirnya, tujuannya adalah memastikan bahwa teknologi menjadi alat untuk memajukan peradaban, bukan untuk meruntuhkannya.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”