Indragiri Hulu, 16 Mei 2025 – Prof. Siti Sofro Sidiq, Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Riau (UNRI) sekaligus pakar Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT), mendesak pemerintah dan pengelola Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) untuk mempercepat pengesahan hak tanah adat Suku Talang Mamak di Rantau Langsat, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Seruan ini disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya (Semiloka) Daerah Pemberdayaan KAT Suku Talang Mamak yang digelar di Aula Kantor Bappeda Indragiri Hulu, Jumat (16/5/2025).
Dalam forum yang dihadiri perwakilan Kementerian Sosial RI, jajaran Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemkab Indragiri Hulu, Camat Batang Gangsal, Kepala Desa Rantau Langsat, tokoh adat serta akademisi ini, Prof. Siti menegaskan bahwa pengakuan tanah ulayat bukan sekadar persoalan hukum, melainkan bentuk keadilan ekologis dan sosial bagi komunitas yang telah menjaga kelestarian hutan TNBT selama ratusan tahun.
“Suku Talang Mamak, sebagai kelompok Proto Melayu, telah hidup harmonis dengan alam di kawasan ini jauh sebelum TNBT ditetapkan pemerintah. Mereka bukan hanya penghuni, tetapi penjaga hutan yang mewariskan kearifan lokal antargenerasi,” tegas Prof. Siti.
Di sisi lain, meski TNBT mengalokasikan zona tradisional seluas 4.870,49 hektare untuk masyarakat adat, realitas di lapangan menunjukkan bahwa Suku Talang Mamak di Dusun Suit Sadan masih terbelenggu oleh ketidakpastian status lahan. Regulasi konservasi yang tumpang-tindih dengan hak adat membuat mereka kehilangan kedaulatan dalam mengelola sumber daya alam. Akibatnya, komunitas ini hidup dalam lingkaran kemiskinan sistemik seperti akses jalan sangat terbatas harus melewati Sungai sekitar 4-5 jam, tingkat buta huruf tinggi, pernikahan dini tinggi, layanan kesehatan minim, serta potensi ekonomi lokal seperti hasil hutan non-kayu dan wisata budaya belum tergarap optimal.
“Tanah adat adalah identitas sekaligus sumber penghidupan mereka. Selama hak komunal tidak diakui, program bantuan pemerintah hanya bersifat tambal sulam,” ujar Prof. Siti.
Kendala ini diamini oleh Rustam Sinaga, perwakilan Dinas Sosial Provinsi Riau, yang mengakui bahwa ketiadaan kepastian hukum atas tanah menjadi penghambat utama pemberdayaan KAT.
Program pemberdayaan pemerintah selama ini, seperti bantuan sembako, belum menyentuh akar masalah. Persoalan mendasar seperti pendidikan, kesehatan, atau ekonomi membutuhkan program pemberdayaan yang berkelanjutan, dan hal ini hanya mungkin tercapai jika status lahan jelas. Tanpa pengakuan hak komunal atas tanah, intervensi kebijakan hanya akan bersifat sementara dan tidak menyelesaikan masalah secara fundamental. Tegas Rustam.
Untuk itu, Semiloka merekomendasikan langkah prioritas untuk percepatan pengesahan hak komunal melalui revisi kebijakan zonasi TNBT bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pendampingan holistik berbasis kearifan lokal untuk penguatan ekonomi dan pendidikan, serta sinergi antar-kementerian lembaga guna memastikan program pemberdayaan inklusif. Lebih dari sekadar perlindungan hukum, pengakuan tanah adat diharapkan menjadi pintu masuk transformasi bagi Suku Talang Mamak untuk menjadi subjek pembangunan yang mandiri. Langkah ini juga sejalan dengan komitmen global Indonesia dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya pengentasan kemiskinan ekstrim dan pelestarian lingkungan berbasis komunitas. Dengan kolaborasi multipihak, harapannya, Suku Talang Mamak tidak hanya mendapat keadilan historis, tetapi juga kesempatan untuk mengaktualisasikan identitas budaya dalam dinamika pembangunan modern.