Guru, Integritas, dan Pertanyaan tentang Beban Negara
Beberapa waktu terakhir, dunia pendidikan dihebohkan oleh sebuah kalimat yang diucapkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang menyebut “guru bisa menjadi beban negara.” Kalimat ini langsung memicu perdebatan luas di kalangan guru, baik yang sudah berstatus ASN, PPPK, maupun tenaga honorer. Ada yang merasa tersinggung, ada yang tersentil, tetapi ada pula yang justru merenung bahwa pernyataan tersebut sesungguhnya bukan hinaan, melainkan pengingat keras tentang betapa pentingnya integritas seorang guru.
Sebab, guru bukan hanya profesi. Guru adalah jiwa, panggilan, sekaligus fondasi peradaban. Negara menggelontorkan anggaran besar untuk pendidikan, termasuk untuk gaji dan tunjangan guru, karena percaya bahwa dari tangan guru lahir generasi masa depan. Namun, apa jadinya jika pengorbanan negara tidak dibalas dengan kerja yang setara? Di sinilah letak persoalan yang ingin disorot: ketika kinerja guru tidak diimbangi dengan integritas, di situlah guru bisa benar-benar menjadi beban negara.
Realitas di lapangan memang berbicara jujur. Tidak bisa kita pungkiri bahwa masih ada guru yang malas, yang hadir hanya untuk menggugurkan kewajiban, yang lebih sibuk mengeluh daripada berinovasi, yang hanya memamerkan status ASN tetapi lupa pada tanggung jawab luhur. Guru semacam ini, betapapun bergaji besar atau memiliki tunjangan profesi, sungguh akan menjadi beban, karena hak yang diterimanya tidak pernah sepadan dengan kontribusi yang diberikannya.
Namun, di sisi lain, justru ada paradoks besar yang kita saksikan. Masih banyak guru honorer, dengan gaji ratusan ribu per bulan, yang bekerja tanpa pamrih, yang tetap masuk kelas meski harus menempuh perjalanan jauh, yang mendidik dengan penuh kasih meski fasilitas terbatas. Guru-guru inilah yang sering menjadi penopang terkuat pendidikan Indonesia. Mereka tidak dihitung sebagai beban negara karena anggaran untuk mereka sangat kecil, tetapi pengorbanan mereka justru melampaui banyak ASN.
Ironisnya, pernyataan “guru sebagai beban negara” sering disalahpahami seolah-olah menyamaratakan semua guru. Padahal, yang menjadi beban bukanlah guru sebagai profesi, melainkan perilaku segelintir guru yang kehilangan integritas. Guru yang lalai, guru yang tidak lagi mencintai pekerjaannya, guru yang mengabaikan muridnya—merekalah yang menjadi cermin gelap dari pernyataan itu.
Karena itu, seharusnya kalimat tersebut kita maknai secara positif: sebagai cermin untuk bercermin. Sudahkah kita sebagai guru benar-benar bekerja maksimal? Sudahkah gaji, tunjangan, dan status ASN yang kita miliki sepadan dengan kualitas kerja kita? Ataukah kita justru terlena dengan kenyamanan, sementara murid-murid yang seharusnya kita layani terabaikan?
Kemerdekaan 2025 ini mestinya menjadi momentum refleksi. Jika bangsa ini merdeka karena darah dan pengorbanan para pahlawan, maka bangsa ini hanya bisa bertahan karena pendidikan yang berintegritas. Dan pendidikan hanya bisa berintegritas jika guru-gurunya menjaga marwah profesinya.
Jangan sampai guru hanya menjadi simbol di mata negara: banyak anggaran yang dikeluarkan, tetapi minim hasil yang terlihat. Guru harus menjadi bukti nyata bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan negara untuk mereka adalah investasi yang menghasilkan generasi unggul, bukan sekadar beban belanja rutin.
Pada akhirnya, kita harus berani mengakui kenyataan:
- Guru yang malas, abai, dan hanya berbangga dengan status ASN tanpa bekerja sungguh-sungguh, itulah yang benar-benar menjadi beban negara.
- Guru honorer yang rajin, yang penuh pengabdian meski dengan keterbatasan, justru menjadi penopang utama pendidikan bangsa.
Pernyataan itu memang menyinggung. Tetapi, jika direnungkan dengan jernih, ia adalah cambuk agar profesi guru tidak kehilangan arah. Sebab guru sejati tidak akan pernah menjadi beban negara, melainkan menjadi pilar bangsa.
Guru yang berintegritas adalah cahaya. Dan cahaya tidak pernah disebut beban, karena justru ia menerangi jalan.