Hasto Menelanjangi Kekuasaan dengan Pledoinya
Pledoi Hasto Kristiyanto bukanlah pembelaan. Itu ledakan. Sebuah dentuman yang mengguncang panggung politik Indonesia yang penuh topeng. Ia menyampaikan kebenaran dengan nada tenang, tapi menikam langsung ke jantung kekuasaan, “Saya ditahan bukan karena saya bersalah, tapi karena saya tidak diam.” Itu bukan kalimat seorang terdakwa, itu pernyataan perang dari seorang tahanan politik. Dan rezim tahu itu. Mereka panik. Karena satu orang yang berani berkata jujur lebih berbahaya dari seribu buzzer yang dibayar untuk memelintir narasi.
Pledoi Itu Menelanjangi Kekuasaan
Hasto menyampaikan pledoinya dengan kepala tegak. Tidak menunduk. Tidak memelas. Ia tahu, yang dihadapinya bukan sekadar jaksa atau hakim, tapi sistem yang menjadikan hukum sebagai cambuk untuk membungkam siapa pun yang menolak tunduk.
Apa yang Hasto lakukan hari itu tak ubahnya seperti Soekarno dalam “Indonesia Menggugat” atau Nelson Mandela dalam “I Am Prepared to Die.” Bukan pembelaan, tapi serangan balik. Dan kekuasaan membencinya. Karena mereka tak bisa menang dari seorang tahanan yang tak punya rasa takut. “Mereka bisa memborgol tubuhku, tapi tidak bisa memenjarakan pikiranku,” kata Hasto. Sebuah tamparan bagi rezim yang terlalu percaya pada kekuatan sel tahanan.
Rezim Ini Takut pada Pikiran Merdeka
Apa yang dilakukan kekuasaan hari ini bukan untuk menegakkan hukum, tapi untuk mematahkan moral lawan politik. Mereka tahu Hasto bukan orang sembarangan. Ia bukan politisi oportunis. Ia punya memori ideologis, punya kedekatan historis dengan perjuangan rakyat, dan yang paling mereka takuti, ia masih berpihak.
Dan seperti kata Antonio Gramsci, “The old world is dying, and the new world struggles to be born, now is the time of monsters.”
Rezim hari ini adalah monster yang lahir dari ketakutan menghadapi dunia baru, politik yang jujur, terbuka, dan berpihak. Mereka ingin membungkam Hasto karena ia simbol bahwa perlawanan masih hidup.
Bukan Sekadar Kasus, Ini Teror Politik
Hasto dituduh menghalangi penyidikan. Padahal yang ia halangi adalah pembusukan hukum. Tuduhan itu hanyalah kotak kosong yang diisi dengan narasi busuk. Di luar sana, banyak pelanggar etik, perusak negara, dan pencuri uang rakyat berjalan bebas, karena mereka membungkuk di hadapan kekuasaan. Hasto justru dipenjara karena ia berdiri.
Ini bukan soal hukum. Ini pembalasan. Ini teror. Ini sinyal bahwa siapa pun yang berani melawan, akan dibuat menjadi contoh. Seperti yang terjadi pada Haris Azhar, Fatia, Rocky Gerung, bahkan para mahasiswa yang kini diburu hanya karena membawa poster atau mengacungkan tangan.
Kita Sedang Diperintah oleh Ketakutan
Apa yang dilakukan Hasto hari itu adalah tindakan paling radikal dalam demokrasi hari ini: mengatakan kebenaran di tengah kebohongan massal. “Ketika negara menjadi tiran, maka pemberontakan adalah ibadah,” ujar Buya Hamka. Maka Hasto telah beribadah dengan caranya dan kita, yang masih diam, adalah mereka yang memilih menutup mata.
Pledoi Hasto bukan akhir. Itu lonceng. Dan lonceng itu berbunyi keras: demokrasi kita sedang sekarat. Dan jika kita terus membiarkan orang seperti Hasto dipenjara, maka suatu hari nanti, giliran kita semua yang akan hidup dalam penjara, tanpa dinding, tanpa jeruji, tapi dikekang oleh ketakutan.
Bangun. Suara belum mati. Dan sejarah sedang menunggu, siapa yang berdiri, dan siapa yang membungkuk