1. Paragraf Pembuka
Pada beberapa bulan terakhir ini, publik dihadapkan dengan banyaknya serangkaian skandal yang melibatkan pejabat negara. Mulai dari kasus korupsi dilembaga penegak hukum, ujaran kebencian yang di sampaikan oleh tokoh publik di media sosial, hingga kekerasan verbal yang terjadi di daerah-daerah yang telah menyuarakan pendapatnya. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa sepanjang beberapa bulan ini di tahun 2025 mencapai sekitar 483 kasus korupsi melibatkan pejabat publik dengan kerugian negara mencapai triliunan rupiah. Fenomena penurunan standar moral dalam tindakan, perilaku, dan kebijakan publik yang di mana hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Di sisi lain, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat peningkatan drastis aduan terkait diskriminasi dan intoleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Fenomena ini bukan sekadar persoalan hukum, melainkan cerminan dari krisis etika publik yang mengakar—sebuah kondisi di mana nilai-nilai luhur Pancasila seolah hanya menjadi hafalan tanpa jiwa.
2. Paragraf Argumentasi
Saya berpendapat bahwa krisis etika publik ini berakar dari gagalnya implementasi nilai-nilai Pancasila, khususnya sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. “Yang di mana kepercayaan publik semakin tergerus adanya moral pejabat yang tidak berprofesional daam berkemimpinan, seolah-olah hidup mewah dan tidak bermoral menjadi gaya kepemimpinan baru”. Klaimnya, para pejabat elite publik saat ini telah meninggalkan prinsip keadilan sosial, menggantinya dengan individualisme akut dan hedonisme. Yang seharusnya dimana pejabat adalah kepemimpinan yang bermoralitas bagi rakyatnya. Alasannya, prinsip Keadilan Sosial menuntut pejabat untuk hidup sederhana, berorientasi pada kepentingan rakyat, dan menolak penumpukan kekayaan yang tidak wajar. Namun, buktinya terlihat jelas: pejabat yang seharusnya menjadi pelayan rakyat justru memamerkan gaya hidup super mewah—mulai dari koleksi kendaraan antik hingga tas-tas mahal yang harganya melebihi APBD desa. Sikap ini secara fundamental melanggar etika publik karena menciptakan jurang ketidakpercayaan dan mempertontonkan ketidakpekaan di tengah mayoritas rakyat yang berjuang. Simpulannya, penyimpangan etika ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan pengkhianatan terhadap cita-cita fundamental bangsa yang tertuang dalam sila kelima Pancasila, dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi dan pejabat publik.
3. Paragraf Solusi/ Rekomendasi
Untuk mengatasi badai krisis etika ini dan ketidak profesionalnya pejabat publik terhadap jiwa kepemimpinananya, kita tidak bisa hanya mengandalkan penegakan hukum, tetapi harus melakukan revolusi mental yang berakar pada Pancasila. Solusi yang realistis adalah menerapkan “Fakta Integritas Gaya Hidup” dan “Audit Kepatuhan Sosial” bagi setiap pejabat publik. Fakta ini harus mengharuskan pejabat menyatakan secara terbuka batasan wajar pengeluaran dan asetnya sebagai bentuk akuntabilitas publik. Lebih dari itu, saya merekomendasikan gagasan perubahan sosial yang bersifat kultural: mengintegrasikan kembali nilai-nilai Musyawarah dan Gotong Royong ke dalam kurikulum pendidikan, pelatihan ASN, dan bahkan kampanye politik. Kita harus mengembalikan marwah pejabat dari “penguasa” menjadi “pelayan” yang menjunjung tinggi Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan. Ajakan ini ditujukan kepada generasi muda untuk berhenti mengagumi figur yang flexing, dan mulai mengapresiasi tokoh-tokoh yang berintegritas dan bersahaja.
4. Paragraf Penutup
Krisis etika publik saat ini adalah alarm keras bagi bangsa. Kita sebagai anak muda menjunjung bangsa tidak boleh membiarkan Pancasila hanya menjadi hiasan retoris dalam pidato kenegaraan. Ia adalah pedoman moral yang harus memandu setiap keputusan, dari ruang sidang parlemen hingga meja kerja birokrasi. Kegagalan mengamalkan Pancasila akan meruntuhkan sendi-sendi negara dan menghilangkan kepercayaan rakyat. Mari kita jadikan momen ini sebagai refleksi kolektif: sudah saatnya kita menyadari bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajah fisik, tetapi juga bebas dari penjajahan moral dan kerakusan yang menggerogoti keadilan sosial.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”
































































