Wacana munculnya kembali penjurusan di SMA yaitu IPA.IPS.dan Bahasa yang disampaikan oleh menteri pendidikan dasar dan menengah memberikan polemik dalam masyarakat. Terutama karena telah lama jurusan IPS dijadikan sebagai jurusan kelas dua serta tidak pernah menjadi pilihan utama bagi peserta didik di SMA, walaupun program-program studi yang berhubungan dengan IPS di perguruan tinggi tetap masuk pada program studi unggulan seperti Hukum, Manajemen, hingga Psikologi. Penghilangan penjurusan dan penyesuaian dengan pilihan sesuai arah pendidikan atau program studi pada perguruan tinggi yang muncul si kurikulum merdeka sebenarnya memberikan angin segar bagi IPS untuk berdiri sejajar dengan IPA dalam mengantarkan peserta didik di SMA menapak masa depannya.
Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan ilmu yang muncul bukan diawal manusia mengenal ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sosial sendiri baru berkembang pada akhir abad ke 18 dan awal abad ke 19. Rudy Gunawan menyampaikan bahwa Pendidikan IPS pertama kali di berasal dari Negara Inggris, tepatnya di kota Rugby pada tahun 1827 (Hidayat). Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) tidak terjadi secara instan diterima sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Sejarah mencatat bahwa awal kemunculan IPS dipenuhi dengan keraguan dan perdebatan, baik di kalangan akademisi maupun praktisi pendidikan. Namun, seperti sebuah pohon yang tumbuh perlahan, IPS akhirnya mengakar kuat dan diakui sebagai elemen penting dalam memahami kehidupan bermasyarakat.
Pada awalnya, IPS tidak dianggap sebagai ilmu pengetahuan karena sifatnya yang interdisipliner. IPS mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu sosial seperti sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, dan ilmu politik. Penggabungan ini, meski kaya akan perspektif, justru membuat IPS dianggap tidak memiliki dasar teori yang kuat dan khas seperti yang dimiliki oleh ilmu sosial murni. Sebagian besar akademisi pada waktu itu menganggap IPS lebih sebagai pendekatan pedagogis daripada sebuah ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri (Setiawan, 2022).
Namun, perlahan paradigma ini berubah. Seiring dengan perkembangan teori pendidikan dan kebutuhan masyarakat modern, IPS mulai menemukan tempatnya. Dunia pendidikan mulai menyadari bahwa memahami realitas sosial tidak cukup hanya dengan mempelajari satu disiplin ilmu secara terpisah. Kehidupan manusia yang kompleks membutuhkan pendekatan yang holistik, dan IPS hadir untuk menjawab kebutuhan itu (Gunawan, 2016).
Penerimaan IPS sebagai bagian dari ilmu pengetahuan juga tidak lepas dari upaya para pendidik yang melihat pentingnya membentuk generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki empati sosial, pemahaman budaya, serta keterampilan berpikir kritis dan analitis. IPS menjadi sarana yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai ini, karena melalui pembelajaran IPS, siswa diajak untuk memahami hubungan antar manusia, dinamika sosial, serta tantangan yang dihadapi oleh masyarakat lokal maupun global (Sapriya, 2017).
Dalam perkembangan kurikulum pendidikan di Indonesia IPS juga tidak serta merta masuk dalam kurikulum. Sejak diperkenalkannya kurikulum 1947 sebagai bagian dari pembangunan bangsa Indonesia di bidang Pendidikan IPS baru masuk dalam kurikulum pada tahun 1975 atau kurang lebih 28 tahun pasca Indonesia memperkenalkan kurikulum Pendidikan pertamanya. Menurut Eko Prasetyo pada masa pasca kemerdekaan, kurikulum pendidikan Indonesia berfokus pada pembentukan karakter nasional dengan dasar-dasar Pancasila dan semangat kemerdekaan (Eko Prasetyo,2015). Ini seharusnya menjadi bagian dari IPS untuk dapat memberikan penguatan, utamanya terhadap pembentukan Karakter Nasional termasuk pada semangat kemerdekaan. Pasca diakui sebagai ilmu pengetahuna di kurikulum 1975 akhirnya pada kurikulum-kurikulum berikutnya semakin menegaskan pentingnya IPS dalam membentuk karakter bangsa yang kritis, kreatif, dan berwawasan global (Rachmah, 2014).
Pengakuan IPS sebagai bagian dari kurikulum ternyata tidak serta merta memberikan ruang IPS sebagai pilihan utama dalam pilihan ilmu pengetahuan di Indonesia. IPS masih menjadi pilihan kedua dalam Pendidikan di Indonesia. IPA sering kali dianggap lebih objektif dan berbasis pada metode ilmiah yang dapat diuji dan dibuktikan secara eksperimen. Sementara itu, IPS lebih berfokus pada kajian sosial, yang cenderung dianggap lebih subjektif karena melibatkan interpretasi, nilai, dan pandangan yang berbeda dari berbagai pihak. Eko Prasetyo (2015) menyatakan, “Orientasi dunia kerja sering memprioritaskan keterampilan yang didasarkan pada pengetahuan ilmiah yang terukur, seperti yang dipelajari dalam IPA, sementara IPS lebih banyak terkait dengan pekerjaan yang membutuhkan keterampilan analisis sosial yang lebih luas.”
Sistem pembelajaran di sekolah-sekolah lebih cenderung memberikan porsi yang lebih besar kepada mata pelajaran berbasis IPA, karena dianggap langsung berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. IPS bahkan sempat menjadi mata pelajaran yang tersingkirkan pada Kurikulum 2004. Padahal bila menelisik pada berbagai permasalahan sosial yang ada di Indonesia, maka sudah semestinya IPS menjadi mata pelajaran utama dalam Pendidikan di Indonesia. Karena untuk menjawab permasalahan sosial tidak tepat apabila digunakan ilmu lain selain Ilmu Pengetahuan Sosial. Mengapa Ilmpu Pengetahuna Sosial bisa menduduki kelas dibawah Ilmu Pengetahuan Alam apakah disebabkan hanya karena asumsi para ahli atau dikarenakan hal lainnya.
A. Sejarah Perkembangan IPS
Perkembangan IPS di dunia bermula dari kajian ilmu sosial yang berkembang pesat pada abad ke-19. Pada masa ini, berbagai disiplin ilmu sosial seperti sejarah, geografi, ekonomi, dan sosiologi mulai dikaji secara sistematis dengan tujuan memahami masyarakat dan interaksi manusia. Menurut Edgar B. Wesley dalam bukunya “Teaching Social Studies in High Schools” (1950), IPS mulai diperkenalkan di Amerika Serikat pada awal abad ke-20 dengan tujuan membentuk warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. “Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence” (Wesley, 1950).
Gerakan ini berkembang pesat setelah Perang Dunia I, ketika pendidikan kewarganegaraan dianggap penting dalam membangun masyarakat yang stabil dan harmonis. Di Eropa, pendekatan serupa muncul melalui pendidikan humaniora yang menekankan pengajaran sejarah dan geografi sebagai pondasi utama dalam memahami dinamika sosial. Pendidikan ini tidak hanya bertujuan memberikan pengetahuan faktual, tetapi juga membentuk karakter dan nilai kemanusiaan, sehingga siswa dapat menghargai keberagaman budaya dan sejarah umat manusia.
Di Indonesia, IPS mulai berkembang sejak masa kolonial, ketika pendidikan formal pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada masa itu, pengajaran sejarah dan geografi menjadi bagian dari kurikulum sekolah dasar dan menengah, meskipun lebih berfokus pada kepentingan kolonial daripada pengembangan pemahaman kebangsaan. Setelah kemerdekaan, kurikulum pendidikan di Indonesia mengalami berbagai perubahan yang memengaruhi posisi IPS. Pada masa transisi antara Orde Lama dan Orde Baru muncul transisi yang dipengaruhi oleh politik pada masa tersebut. Farisi (2013) menuliskan bahwa sejalan dengan perkembangan politik bangsa pada saat itu, Kurikulum Tahun 1964 mengalami perubahan dengan terbitnya Kurikulum Tahun 1968. Dalam Kurikulum Tahun 1968 untuk pendidikan dasar dan menengah, pendidikan ilmu sosial masih tetap diwakili oleh pendidikan sejarah, geografi, dan ekonomi. Perubahan nama dari kurikulum sebelumnya adalah nama mata pelajaran civics pada kurikulum 1964 diubah menjadi kewarganegaraan (Suastika,2021). Pada tahun 1975, kurikulum nasional mulai mengintegrasikan berbagai ilmu sosial dalam satu mata pelajaran yang disebut IPS. Integrasi ini bertujuan untuk membentuk siswa yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik, sekaligus menanamkan semangat nasionalisme dan kesadaran sosial. “Pendidikan IPS di Indonesia bertujuan untuk membentuk warga negara yang memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan sosial yang memadai untuk menghadapi tantangan zaman” (Mulyana, 2004). Perubahan kurikulum ini mencerminkan upaya bangsa Indonesia dalam membangun pendidikan yang tidak hanya mengasah kecerdasan akademis, tetapi juga membentuk karakter dan jiwa sosial yang kuat.
B. IPS dan Problematika dalam Pendidikan di Indonesia
Salah satu problematika yang ada terkait IPS adalah terkait pola pikir masyarakat Indonesia. IPS hingga kini masih sering dianggap sebagai ilmu kelas dua dibandingkan dengan IPA di Indonesia. Pada sekolah-sekolah khususnya SMA, jurusan IPS masih menjadi semacam jurusan dengan kasta kedua. Hal ini tidak terlepas dari anggapan masyarakat bahwa anak-anak yang mengambil jurusan IPA memiliki peluang karir lebih luas dibandingkan IPS. Belum lagi sistem asesmen di Indonesia lebih banyak menekankan pada aspek pengetahuan dan mengurangi aspek-aspek yang lainnya.
Jika melihat pada kualitas sumber daya manusia pengajar IPS, maka seharusnya Indonesia tidak kekurangan pengajar IPS yang berkualitas. Karena semua Perguruan Tinggi Negeri pencetak calon guru rata-rata memiliki jurusan Pendidikan yang terkait dengan IPS serta rumpun ilmu-ilmu sosial. Walau memang ada beberapa rumpun ilmu sosial yang tidak selalu ada pada Perguruan Tinggi, seperti Sejarah dan Antropologi. Akan tetapi dengan banyaknya jumlah perguruan tinggi yang membuka jurusan IPS menunjukkan bahwa Indonesia tidak kekurangan tenaga pengajar IPS.
Lalu mengapa dengan jumlah tenaga pengajar yang memadai IPS tetap bukan menjadi pilihan utama bagi peserta didik maupun orang tua dari peserta didik. Jika merujuk pada Kompetensi Guru, Bintang Prabowo menyampaikan bahwa rata-rata skor uji kompetensi guru di Indonesia hanya di angka 50,64 (2021). Masih dari data yang sama, Kementrian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi menyampaikan bahwa guru PNS yang sudah sarjana memiliki rata-rata skor UKG 51,43 sedangkan guru tetap Yayasan memiliki skor 52,82. Berdasarkan Laporan Kinerja Dirjen GTK pada tahun 2022, terdapat sejumlah telah digelontorkan dana sebesar Rp. 42.715.295.246 untuk pengembangan kompetensi guru IPS, sedangkan untuk pengembangan kompetensi guru IPA hanya sebesar Rp.24.493.296.854,-. Dengan jumlah anggaran yang lebih besar menunjukkan bahwa guru IPS yang memerlukan pengembangan kompetensi lebih banyak dibandingkan dengan guru IPA.
Kompetensi guru IPS berbanding lurus dengan hasil belajar siswa, seperti yang disampaikan oleh Candra (2021) terdapat hubungan yang positif antara kompetensi guru IPS (Ekonomi, Geografi, Sejarah, Sosiologi) dengan hasil belajar siswa di Sekolah Menengah Atas Tulungagung yang menunjukkan semakin tinggi kompetensinya maka hasil belajarnya akan semakin meningkat. Maka memang perlu dilakukan peningkatan kompetensi pendidik IPS, berdasarkan hal tersebutlah kemungkinan pemerintah melalui Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada akhirnya lebih memberikan jumlah dana yang besar dalam meningkatkan kompetensi guru IPS di Indonesia.
Selain permasalahan terkait dengan kompetensi guru, permasalahan juga muncul dari kurikulum IPS. Merujuk pada perkembangan kurikulum selama 10 tahun terakhir, dimulai pada era Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan KTSP pada tahun 2004, IPS lebih menekankan pada pembelajaran kontekstual dan pengembangan keterampilan sosial siswa. Pembelajaran ini dirancang agar siswa mampu memahami konsep-konsep sosial melalui pengalaman langsung, diskusi, dan kerja kelompok, sehingga melatih kemampuan berpikir kritis dan empati sosial.
Dalam Kurikulum 2013, IPS menjadi bagian penting dalam membangun karakter siswa melalui pendekatan tematik integratif. Kurikulum ini menekankan pembelajaran berbasis proyek yang melibatkan siswa dalam kegiatan eksploratif dan kreatif, sehingga mereka tidak hanya memahami teori, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan sehari-hari. Pada kurikulum yang baru di tahun 2024 terjadi perubahan dalam penerapan materi IPS dimana materi yang disajikan lebih persifat progresif dan tidak lagi terjadi perulangan materi.
Secara kurikulum pada dasarnya tidak terlihat ada kesalahan terkait IPS. Semua materi yang dibuat dalam IPS diharapkan mampu mengembangkan rasa kebangsaan, tanggung jawab sosial, dan keterampilan berpikir kritis siswa dalam menghadapi realitas kehidupan. Dalam konteks ini, IPS bukan hanya sekadar mata pelajaran, tetapi sebuah proses pembentukan manusia yang utuh, yang mampu berkontribusi positif bagi masyarakat dan bangsa. Hanya saja kurikulum IPS masih sangat luas dan tidak fokus sehingga menjadikan IPS tidak dirasakan dampak langsungnya pada siswa.
Merujuk pada kualitas pendidik IPS dan kurikulum IPS maka ada kemungkinan belum semua pendidik IPS mengerti terkait tujuan dari pembelajaran IPS. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya kompetensi guru dalam memahami dan menerapkan tujuan dari pembelajaran IPS. Walau tidak dapat disimpulkan bahwa kompetensi guru IPS lebih rendah daripada guru IPA, tetapi untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran IPS yang telah ditetapkan sesuai pada Capaian Pembelajaran IPS berdasarkan Keputusan Kepala BSKAP Nomor 032 tahun 2024 dimana tujuan mata pelajaran IPS adalah peserta didik memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat serta memiliki keterampilan berpikir kritis, analitis, kreatif, adaptif, dan solutif di tengah perkembangan global. Tujuan mata pelajaran IPS secara terperinci adalah
memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam ruang dan waktu meliputi bidang sosial, budaya, dan ekonomi;
memiliki keterampilan dalam berpikir kritis, berkomunikasi, membangkitkan kreativitas, dan berkolaborasi dalam masyarakat global;
memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial kemanusiaan dan lingkungan untuk menumbuhkan kecintaan terhadap bangsa dan negara; dan
menunjukkan hasil pemahaman konsep pengetahuan dan mengasah keterampilan melalui karya atau aksi sosial
Guru-guru IPS harus bisa meningkatkan kompetensinya yaitu kompetensi Profesional, Pedagogik, Sosial, dan Kepribadian.
Lebih jauh daripada itu selain karena ketiga hal diatas yaitu pola pikir masyarakat, kompetensi guru, dan kurikulum IPS yang dirancang terlalu luas dan umum, problematika lainnya adalah kurangnya dukungan dalam hal sarana prasarana maupun terkait dengan kebijakan pembelajaran IPS. Dalam bidang sarana prasarana khususnya pada Sekolah Menengah Pertama maupun Sekolah Menengah Atas, sangat minim sekolah yang menyediakan Laboratorium Khusus IPS. Padahal berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi nomor 3 Tahun 2022 terkait standar sarana prasarana khususnya di SMA bahwa Laboratorium di Sekolah Menengah Atas disesuaikan pada jurusan yang dibuka pada sekolah tersebut. Jadi untuk sekolah yang membuka jurusan IPA, IPS, dan Bahasa, Laboratorium pendukungnya minimal memiliki masing-masing 1 Laboratoium IPA, IPS, dan Bahasa.
Laboratorium IPS di SMA memang jarang ditemui, terutama jika dibandingkan dengan laboratorium IPA yang hampir selalu ada. Fenomena ini muncul karena beberapa alasan seperti anggapan bahwa IPS tidak memerlukan Laboratorium Fisik, belum adanya standar terkait pengaturan Laboratorium IPS, hingga pada kurangnya kemampuan guru dalam merancang sebuah praktikum IPS.
Pada hakikatnya semua akhirnya Kembali pada guru IPS sebagai garda terdepan dalam pembelajaran IPS di sekolah. Para guru harus bisa menunjukkan bahwa IPS memiliki peran strategis dalam dunia Pendidikan. Guru IPS juga dituntut untuk dapat menjadikan pembelajaran IPS menarik serta relevan bagi siswa, utamanya dalam dunia digital sekarang. Perlu upaya menghilangkan anggapan siswa bahwa IPS hanya berisi hafalan fakta sejarah atau konsep ekonomi yang abstrak dan kaitkan pembelajaran IPS langsung dengan kehidupan para siswa.
Dengan memanfaatkan teknologi, guru dapat menciptakan pengalaman belajar yang lebih interaktif, seperti melalui penggunaan media digital, simulasi sosial, dan proyek berbasis komunitas. Dengan demikian, siswa tidak hanya belajar IPS sebagai pengetahuan teoritis, tetapi juga sebagai bekal praktis untuk memahami dunia nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Bintang Pradewo.2021. Kemendikbudristek Ungkap Rata-Rata Skor Kompetensi Guru 50,64 Poin. https://www.jawapos.com/pendidikan/01355273/kemendikbudristek-ungkap-ratarata-skor-kompetensi-guru-5064-poin#:~:text=Kemendikbudristek%20Ungkap%20Rata%2DRata%20Skor,50%2C64%20Poin%20%2D%20Jawa%20Pos , diakses pada 18 Februari 2025
Candra Karnaningsih , Shinta, dkk. 2021. Hubungan Kompetensi Guru Dengan Hasil Belajar Ips Di Sekolah Menengah Atas. jktp: Jurnal Kajian Teknologi Pendidikan Vol 4 No (1) Februari (2021): 1-118 DOI: 10.17977/um038v4i12021p051 e-ISSN: 2615-8787 http://journal2.um.ac.id/index.php/jktp/index
Eko Prasetyo, A. 2015. Sejarah Kurikulum Pendidikan Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Gunawan, R. 2016. Pendidikan IPS: Sejarah, Konsep, dan Implementasinya
Mulyana, A. 2004. Pendidikan IPS: Teori dan Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya.