Pendidikan itu katanya kunci kemajuan bangsa. Semua pejabat juga sering ngomong kalau masa depan Indonesia ada di tangan generasi muda. Tapi kalau kita lihat kenyataan di lapangan, sepertinya pendidikan di negeri ini masih jauh dari kata ideal. Pemerintah memang punya banyak program keren di atas kertas, kayak Merdeka Belajar, KIP Kuliah, sampai digitalisasi sekolah. Tapi sering kali program itu Cuma jadi jargon politik yang nggak sepenuhnya nyentuh akar masalah. Sebagai mahasiswa, saya merasa penting banget buat ngasih kritik, karena kalau bukan kita yang bersuara, siapa lagi?
Masalah pertama yang paling kerasa adalah ketidakmerataan akses pendidikan. Di kota besar, fasilitas kampus lengkap, internet cepat, bahkan ada kesempatan ikut program pertukaran pelajar. Tapi di daerah pelosok, kondisinya jauh berbeda. Ada sekolah yang masih kekurangan guru, gedung hampir roboh, sampai internet yang sering putus nyambung.
Pemerintah suka ngomong soal “transformasi digital” di dunia pendidikan, padahal di banyak daerah listrik aja masih byar-pet. Akhirnya, mahasiswa di kota besar melesat maju, sementara di pelosok tertinggal jauh. Kesenjangan ini bikin pendidikan di Indonesia nggak pernah benar- benar merata.
Masalah kedua adalah biaya pendidikan tinggi yang makin nggak ramah kantong. UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang katanya disesuaikan sama kemampuan ekonomi keluarga, kenyataannya banyak yang tetap mahal. Saya punya teman yang harus cuti kuliah gara-gara orang tuanya nggak sanggup bayar UKT. Ada juga yang akhirnya kerja full time sambil kuliah, dan tentu aja itu bikin fokus belajar jadi terganggu. Memang ada program beasiswa, tapi jumlahnya terbatas dan proses seleksinya sering ribet. Jadi, kuliah di Indonesia masih sering terasa kayak “privilege” buat yang punya uang, bukan hak buat semua warga negara.
Ketiga, soal kurikulum dan kebijakan pendidikan yang sering berubah-ubah. Program Merdeka Belajar misalnya, di konsepnya terdengar ideal: mahasiswa bisa belajar lintas prodi, dapat pengalaman di luar kampus, dan jadi lebih fleksibel. Tapi di praktiknya, banyak kampus belum siap. Sistem administrasi kacau, dosen kebingungan, mahasiswa juga jadi korban karena aturan sering nggak jelas. Pemerintah terlalu buru-buru bikin regulasi baru tanpa mikirin kesiapan infrastruktur. Akibatnya, mahasiswa jadi kelinci percobaan kebijakan yang setengah matang.
Masalah lain yang juga nggak kalah penting adalah minimnya ruang dialog antara pemerintah dengan mahasiswa. Kritik mahasiswa sering dianggap sebagai bentuk perlawanan, padahal kita Cuma pengen didengar. Demo mahasiswa direspon dengan aparat, bukan dengan diskusi terbuka. Padahal mahasiswa itu kan salah satu elemen penting bangsa, calon pemimpin masa depan. Kalau suara kita terus dipinggirkan, gimana pemerintah bisa tahu realita yang sebenarnya di lapangan?Sebagai mahasiswa,
Saya merasa pemerintah perlu lebih serius dalam ngurusin pendidikan.
Pertama, pastikan dulu akses pendidikan benar-benar merata, mulai dari fasilitas sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Jangan Cuma fokus di kota besar, tapi pikirkan juga saudara-saudara kita di pelosok. Kedua, lakukan evaluasi sistem UKT secara transparan, supaya mahasiswa nggak lagi terpaksa berhenti kuliah Cuma gara-gara biaya. Ketiga, jangan buru-buru bikin kebijakan baru kalau sistem di kampus belum siap. Lebih baik sedikit lambat tapi matang, daripada cepat tapi berantakan. Dan terakhir, pemerintah harus membuka ruang dialog seluas-luasnya dengan mahasiswa. Kita bukan musuh, kita partner kritis yang siap kasih masukan.
Kalau pendidikan dibiarkan kayak sekarang, dampaknya bakal panjang. Kesenjangan sosial makin lebar, angka putus kuliah makin tinggi, dan generasi muda makin kehilangan kepercayaan pada pemerintah. Padahal pendidikan itu investasi jangka panjang buat masa depan bangsa. Negara-negara maju bisa berkembang pesat karena mereka serius ngurusin pendidikan, sementara kita masih sibuk tarik-ulur soal kebijakan yang nggak konsisten. Saya Cuma bisa berharap pemerintah mau lebih peka dan realistis.
Pendidikan jangan Cuma dijadikan bahan kampanye atau slogan politik, tapi betul-betul dijadikan prioritas utama. Karena kalau kualitas pendidikan meningkat, otomatis kualitas sumber daya manusia kita juga naik. Dan kalau manusia Indonesia sudah cerdas, bukan mustahil kita bisa jadi bangsa besar yang benar-benar dihormati dunia.
Pada akhirnya, kritik ini bukan berarti saya anti pemerintah. Justru karena saya peduli, makanya saya bersuara. Kritik mahasiswa harusnya dianggap sebagai alarm, sebagai pengingat kalau masih ada hal yang harus diperbaiki. Pemerintah boleh punya rencana hebat, tapi tanpa eksekusi yang nyata dan adil, semua itu Cuma omong kosong. Jadi, mari kita dorong sama-sama, supaya pendidikan Indonesia benar-benar bisa jadi pintu emas menuju masa depan yanglebih cerah, bukan sekadar mimpi di atas kertas.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”