Pada tahun 2025, laporan menunjukkan bahwa lebih dari 97% remaja di Indonesia mengakses internet setiap hari, menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial. Fenomena ini, yang sering disebut sebagai era “warga digital” (digital\ native), sesungguhnya tengah menyeret kita ke dalam isu yang lebih mendalam: jati diri di bawah bayang-bayang jajahan digital. Jajahan ini tidak lagi berbentuk kolonialisme fisik, melainkan dominasi algoritma, standar kecantikan global, dan nilai-nilai asing yang secara halus mengikis fondasi identitas lokal, menciptakan krisis eksistensial bagi banyak generasi muda. Krisis ini terlihat nyata ketika banyak yang lebih fasih menirukan tren global ketimbang memahami nilai-nilai budaya dan Pancasila bangsanya sendiri.
Penetrasi masif teknologi dan budaya asing telah menciptakan apa yang bisa disebut sebagai Krisis Identitas Digital di mana individu, terutama kaum muda, sulit membedakan antara diri sejati (authentic\ self) dan citra maya (curated\ self). Alasannya adalah media sosial berfungsi sebagai panggung validasi; setiap unggahan, like, dan comment menjadi mata uang sosial yang menentukan rasa harga diri. Bukti Konkretnya, studi menunjukkan bahwa tekanan untuk tampil sempurna di media sosial sering memicu kecemasan, depresi, dan bahkan perbandingan sosial yang merusak. Remaja cenderung mengadopsi identitas yang sesuai dengan norma global, misalnya dari budaya K-Pop atau Hollywood, yang bertentangan dengan Simpulan: Nilai Kolektivisme dan Gotong Royong Pancasila. Kita disuguhi idealisme individualisme, hedonisme, dan materialisme—nilai-nilai yang perlahan menggerus karakter bangsa yang luhur. Mereka yang terjebak dalam filter bubble dan obsesi validasi digital akhirnya kehilangan akar kebudayaan dan nasionalisme karena orientasi hidupnya bergeser dari komunitas nyata ke pengakuan online.
Untuk keluar dari jebakan “jajahan digital” ini, dibutuhkan strategi pertahanan ganda yang berakar pada nilai-nilai bangsa. Pertama, Literasi Digital Berbasis Karakter harus menjadi kurikulum wajib. Bukan sekadar mengajarkan cara menggunakan aplikasi, tetapi mengajarkan cara berpikir kritis, membedakan konten berkualitas, dan yang terpenting, merefleksikan konten tersebut melalui kacamata nilai Pancasila. Kedua, Reinventarisasi Budaya di Ruang Digital. Budaya dan kearifan lokal tidak boleh diam di museum. Kita harus mendorong para creator muda untuk mengemas cerita rakyat, tarian daerah, atau bahkan filosofi lokal dengan format digital yang modern dan menarik (seperti webtoon lokal, film pendek TikTok, atau kolaborasi musik tradisional-elektro) sehingga generasi muda dapat bangga dan merasa keren dengan identitasnya. Kita harus mengubah narasi: Indonesia bukan hanya pengguna teknologi, tetapi pencipta narasi dan inovasi yang berjiwa Indonesia.
Pada akhirnya, peperangan melawan jajahan digital adalah peperangan di dalam diri. Kita tidak bisa menolak gelombang digital, tetapi kita bisa membangun kapal yang kuat. Jati diri sejati tidak ditemukan dalam ribuan followers atau jutaan views, melainkan dalam kemampuan kita untuk berdiri tegak, membumi pada nilai-nilai luhur bangsa, dan menggunakan teknologi sebagai alat, bukan sebagai tuan. Mari kita sadari bahwa setiap detik di dunia maya adalah pilihan: apakah kita akan menjadi konsumen pasif yang terombang-ambing oleh algoritma asing, atau menjadi agen perubahan yang bangga memperkenalkan “Indonesia autentik” kepada dunia? Jangan biarkan layar gawai menjadi tirai yang menutupi keindahan dan kekuatan jiwa bangsa kita.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”
































































