Di tengah hiruk-pikuk media sosial Indonesia, sebuah tagar menyita perhatian publik sejak Februari 2025: #KaburAjaDulu. Bukan sekadar tren digital, tagar ini menjadi cerminan keresahan mendalam generasi muda terhadap masa depan di negeri sendiri.
Dibicarakan jutaan kali di platform X, tagar ini berisi curhatan, keresahan, hingga informasi seputar peluang kerja, pendidikan, dan kehidupan yang lebih baik di luar negeri. Dalam banyak unggahan, terselip mimpi sederhana : ingin hidup layak.
Mencari Napas di Negeri Orang
Fenomena #KaburAjaDulu tidak muncul dalam ruang hampa. Di baliknya, ada realitas sosial dan ekonomi yang menghimpit. Biaya pendidikan yang tinggi, lapangan kerja yang sempit, tekanan lingkungan kerja yang beracun, serta hubungan pribadi yang tidak sehat menjadi latar belakang banyak orang memilih untuk “kabur” setidaknya sementara.
Survei YouGov Indonesia pada akhir Februari 2025 mencatat bahwa 41% Gen Z Indonesia (lahir 1997-2012) mempertimbangkan untuk migrasi ke luar negeri dalam beberapa tahun mendatang. Angka ini jauh melampaui generasi lain seperti Milenial (31%), Gen X (26%), dan Baby Boomers (12%).
Fakta ini menunjukkan bahwa generasi muda bukan hanya lebih memandang global, tetapi juga lebih terbuka untuk mengambil risiko. Mereka tidak segan melintasi batas negara demi memperjuangkan masa depan yang lebih menjanjikan.

Dari Gerakan Sosial hingga Kritik Politik
Meski terdengar seperti ajakan individu, #KaburAjaDulu berkembang menjadi ruang kritik sosial. Banyak warganet yang menyuarakan ketidakpuasan terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Beberapa menyebutkan soal penghematan anggaran pendidikan, peningkatan angka pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga penurunan terhadap perekonomian Indonesia.
Dalam konteks ini #KaburAjaDulu bukan sekedar pengungsi, melainkan juga bentuk proses diam-diam. Sebuah sinyal bahwa suatu negara perlu bercermin: mengapa begitu banyak anak muda merasa lebih dihargai di luar negeri daripada di rumah sendiri?
Antara Nasionalisme dan Realitas
Seiring menguatnya tagar ini, muncul pula. Apakah migrasi ke luar negeri merupakan bentuk pengkhianatan terhadap bangsa? Ataukah justru langkah cerdas untuk membangun diri dan kembali dengan kontribusi lebih besar?
Tokoh publik seperti Anies Baswedan menyatakan bahwa bekerja atau belajar di luar negeri bukan berarti kehilangan nasionalisme. “Justru itu bisa menjadi cara untuk meningkatkan kualitas hidup dan memberikan kontribusi lebih baik bagi bangsa” katanya.
Hal serupa disampaikan oleh Irwan Prasetiyo, pengamat ketenagakerjaan. Menurutnya, pengalaman internasional bisa membuka wawasan, memperkaya keterampilan, dan menjadikan anak muda Indonesia lebih siap menghadapi tantangan global. “Yang penting, pulang” katanya dalam sebuah wawancara.
Sinyal Bagi Negeri
#KaburAjaDulu menjadi simbol bahwa generasi muda kita bukan tak cinta negeri, tapi mulai lelah berharap. Mereka ingin diberi penghargaan, diberi kesempatan, dan tumbuh dalam sistem yang sehat. Jika semua itu tidak bisa diberikan di rumah sendiri, maka dunia luar menjadi pilihan yang masuk akal.
Pertanyaannya sekarang : apakah Indonesia akan menanggapi sinyal ini? Atau justru membiarkan generasi terbaiknya pergi satu demi satu?