Karimunjawa, gugusan pulau di utara Jawa, sering dipuja sebagai mutiara wisata bahari. Air sebening kaca, terumbu karang berwarna-warni, dan ikan-ikan tropis yang menari di bawah permukaan menjadikannya destinasi impian. Namun, bagi ribuan warga pesisir yang tinggal di sana, laut bukan sekadar panorama indah untuk wisatawan—laut adalah kehidupan itu sendiri.
Ketika pemerintah menetapkan Taman Nasional Karimunjawa sebagai kawasan konservasi dengan sistem zonasi ketat, masyarakat pun menghadapi dilema: bagaimana menjaga laut tetap lestari, sembari memastikan dapur tetap mengepul?
Dua Desa, Dua Wajah Kehidupan Laut
Penelitian terbaru pada Juli 2025 memotret dua desa kunci: Karimunjawa dan Kemujan. Meski bersebelahan, keduanya menunjukkan wajah berbeda dari kehidupan pesisir.
Desa Karimunjawa yang dekat dengan pelabuhan utama dipenuhi denyut wisata. Nelayan bisa beralih menjadi pemandu snorkeling, pengelola homestay, atau penyewa perahu. Laut masih penting, tapi pariwisata memberi alternatif.
Sebaliknya, Desa Kemujan hidup sepenuhnya dari hasil tangkapan ikan. “Kalau laut sepi, kami tidak punya penghasilan lain,” ujar Suryono, nelayan Kemujan.
Zonasi: Garis di Peta, Realita di Laut
Di atas kertas, zonasi membagi perairan Karimunjawa menjadi wilayah inti, perlindungan, dan pemanfaatan tradisional. Nelayan paham aturan itu, bahkan banyak yang mengaku setuju. Namun, di lapangan, godaan kerap muncul.
“Ikan banyaknya justru di zona terlarang. Kalau hasil tangkapan menurun, kadang orang nekat. Bukan karena tidak peduli, tapi karena harus memberi makan keluarga,” kata Mulyadi, nelayan Karimunjawa.
Pengawasan juga belum merata. Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNK) dengan sumber daya terbatas tidak mampu menjangkau seluruh 111 ribu hektare kawasan. Nelayan di Kemujan merasa jarang diajak bicara, seolah suara mereka tenggelam di tengah riuhnya pusat wisata.
Pengetahuan Laut yang Tak Tergambar di Peta
Bagi nelayan, laut adalah ruang ingatan kolektif. Mereka mengenali arus, angin, dan tanda-tanda alam untuk menentukan tempat tangkap. Peta resmi zonasi ada, tapi lebih sering tersimpan di kantor.
“Kami mengenal laut seperti halaman rumah, tapi tidak semua titik kami tahu. Kadang kami hanya melaut di tempat yang sama berulang kali,” tutur Maryati, istri nelayan.
Hasilnya, nelayan kerap berkumpul di lokasi tertentu. Persaingan meningkat, konflik kecil antar pengguna alat tangkap pun terjadi.
Luka Lama dan Ancaman Baru
Karimunjawa pernah punya luka akibat penangkapan destruktif: bom dan racun ikan merusak karang dan meninggalkan bekas panjang. Kini praktik itu berkurang, tapi ancaman datang dari luar. Kapal asing dan nelayan pendatang sesekali masuk, merusak rasa adil bagi nelayan lokal yang sudah berusaha taat aturan.
“Kalau orang luar bebas masuk, sementara kami dibatasi, bagaimana bisa adil?” keluh seorang nelayan tua.
Harapan: Dari Objek Menjadi Subjek
Warga Karimunjawa ingin diakui sebagai mitra sejajar, bukan sekadar penerima aturan. Di Desa Karimunjawa, kelompok nelayan sudah mulai aktif lewat KUB dan Pokmaswas yang membantu patroli laut. Tapi di Kemujan, organisasi serupa masih lemah, butuh pendampingan lebih.
“Kalau aturan dibuat tanpa mendengar kami, ya sulit dijalankan. Kami ingin duduk bersama, bukan hanya diberitahu,” tegas Slamet, tokoh nelayan Kemujan.
Peta Sosial, Kunci Masa Depan
Studi ini menegaskan: keberhasilan konservasi laut tidak hanya ditentukan oleh garis zonasi, tetapi juga oleh peta sosial masyarakatnya. Siapa yang melaut, siapa yang hidup dari wisata, siapa yang menjaga, dan siapa yang rawan tersisih—semua harus dipahami.
Dengan melibatkan masyarakat sejak awal, zonasi bukan lagi garis mati di peta, tetapi menjadi kesepakatan hidup yang dijalankan bersama. Seperti laut yang terus berdenyut, suara masyarakatlah yang seharusnya menjadi kompas arah konservasi Karimunjawa.
Tim Peneliti
1. Prof. Dr. Ir. Eka Djunarsjah, M.T.
Kelompok Keahlian Hidrografi, FITB ITB
2. Miga Magenika Julian, S.T., M.T.
Kelompok Keahlian Hidrografi, FITB ITB
3. Esa Fajar Hidayat, S.Kel., M.Si.
Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya
4. R. M. Cessar Surya Adiputra, S.T., M.T.
Mahasiswa Magister Teknik Geodesi dan Geomatika, ITB (2024)
5. Amira Khairunissa, S.T.
Mahasiswa Magister Sekolah Bisnis dan Manajemen, ITB (2024)
6. Muhammad Zacki Farhanz
Mahasiswa Teknik Geodesi dan Geomatika, ITB (2022)
7. Wafi Haidi
Mahasiswa Teknik Geodesi dan Geomatika, ITB (2022)
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”