Tangerang, 27 Oktober 2025 – Kasus dugaan praktik diskriminasi oleh “PT Lion Express”, bagian dari Lion Air Group, kembali menjadi sorotan publik setelah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjatuhkan sanksi denda administratif sebesar “Rp 3 miliar”. Meski dinyatakan bersalah melakukan praktik diskriminatif dalam layanan kargo, perusahaan tersebut tidak diwajibkan segera membayar denda karena sejumlah pertimbangan khusus dari KPPU.
Putusan ini menimbulkan tanda tanya di kalangan pemerhati hukum dan pelaku usaha, terutama terkait “kepastian hukum dan penegakan prinsip persaingan usaha yang sehat”.
“Kronologi dan Bentuk Diskriminasi”
Berdasarkan penetapan KPPU, Lion Air Group terbukti “menghambat akses pengiriman kargo” oleh agen-agen kargo lain, dengan memprioritaskan dan mempermudah layanan bagi “PT Lion Express” selaku anak usahanya sendiri. Akibatnya, agen kargo resmi lainnya mengalami kesulitan dalam menggunakan jasa pengiriman, bahkan terpaksa menggunakan perantara atau jalur alternatif yang lebih mahal.
Praktik semacam ini, menurut KPPU, termasuk bentuk “diskriminasi usaha” sebagaimana dilarang oleh “Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999” tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
“Denda yang Ditangguhkan: Pertimbangan dan Kontroversi”
Kepala Biro Humas dan Kerja Sama KPPU, “Deswin Nur”, dalam wawancara dengan “Dwi Wulan Romadhon”, menjelaskan bahwa denda sebesar Rp 3 miliar tersebut “tidak perlu dibayar segera”, kecuali apabila dalam waktu “satu tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap”, Lion Air Group kembali melakukan pelanggaran serupa.
“Pertimbangan KPPU mencakup sifat kooperatif perusahaan, kondisi keuangan akibat pandemi Covid-19, serta dampak sosial ekonomi dari putusan tersebut,” ujar Deswin Nur.
Meski demikian, sejumlah pengamat menilai keputusan itu “menimbulkan ketidakpastian hukum” karena “UU No. 5 Tahun 1999 tidak mengatur” mekanisme penangguhan pembayaran denda seperti itu.
“Pandangan Hukum: Perlu Peninjauan Mekanisme Sanksi”
Dalam wawancara terpisah, Dwi Wulan Romadhon penulis hukum lulusan Fakultas Hukum dari salah satu universitas ternama di Jakarta menilai bahwa “penegakan sanksi seharusnya konsisten dan berbasis pada prinsip efek jera”.
“Jika denda administratif dapat ditangguhkan tanpa kejelasan mekanisme, maka tujuan utama dari sanksi, yaitu memberikan efek jera, menjadi tidak tercapai. Negara bahkan berpotensi kehilangan kesempatan untuk mengembalikan keuntungan yang diperoleh dari praktik diskriminatif kepada masyarakat,” ujarnya.
Dwi juga menambahkan bahwa “penghitungan denda idealnya didasarkan pada keuntungan bersih yang diperoleh pelaku usaha dari pelanggaran tersebut”, bukan nominal tetap yang cenderung ringan. Dengan begitu, sanksi akan lebih proporsional dan efektif dalam menekan pelanggaran di masa mendatang.
“Rekomendasi Perbaikan Regulasi”
Dalam penutup analisanya, Dwi menekankan perlunya “revisi regulasi denda dalam UU Persaingan Usaha”, agar sanksi mampu memberikan efek jera dan menjamin kepastian hukum. Menurutnya, denda sebaiknya dikenakan “di atas keuntungan yang diperoleh” dari praktik diskriminatif, sehingga tidak ada ruang bagi pelaku usaha untuk tetap memperoleh keuntungan dari pelanggaran hukum.
Penulis : Dwi Wulan romadhon, S.H
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”
































































