Kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) yang melibatkan Perusahaan Daerah (PD) Pembangunan Kota Cirebon resmi dilimpahkan dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Cirebon ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat pada 13 Oktober 2025. Menurut Kasi Pidsus Kejari Cirebon, Feri Nopiyanto, pelimpahan ini dilakukan karena keterbatasan jumlah penyidik serta luasnya persebaran aset PD Pembangunan yang mencakup wilayah di luar Kota Cirebon. Keputusan pelimpahan ini menandakan bahwa perkara tersebut memiliki dimensi hukum yang kompleks dan membutuhkan koordinasi lintas daerah.
PD Pembangunan sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) memiliki mandat utama mengelola kekayaan daerah yang dipisahkan untuk kepentingan publik dan pembangunan ekonomi daerah. Namun, muncul dugaan bahwa dalam pengelolaan asetnya terjadi penyimpangan, khususnya terkait praktik jual beli aset tanpa mekanisme lelang terbuka dan tanpa persetujuan pemerintah daerah. Tindakan tersebut berpotensi melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menegaskan larangan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara. Selain itu, praktik tersebut juga bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah serta Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, yang menuntut adanya tata kelola aset yang profesional, transparan, dan akuntabel.
Secara yuridis, pelimpahan penyidikan dari Kejari ke Kejati sah berdasarkan Pasal 18 ayat (3) KUHAP, yang memungkinkan kejaksaan di tingkat lebih tinggi mengambil alih perkara dengan pertimbangan efektivitas dan cakupan wilayah. Langkah Kejari Cirebon ini mencerminkan prinsip efisiensi dan efektivitas penegakan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dengan demikian, proses hukum yang kini ditangani oleh Kejati Jabar diharapkan dapat berjalan lebih luas dan komprehensif, mencakup audit keuangan oleh BPKP hingga kemungkinan penetapan tersangka apabila ditemukan bukti kuat penyalahgunaan kewenangan.
Dalam perspektif hukum administrasi, aset PD Pembangunan merupakan bagian dari kekayaan daerah yang dipisahkan, sehingga setiap bentuk transaksi atau pengalihan aset harus dilakukan secara sah dan dapat dipertanggungjawabkan. Apabila terjadi pemindahtanganan aset tanpa dasar hukum yang jelas, maka unsur abuse of power atau penyalahgunaan kewenangan dapat terpenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Jika terbukti dilakukan dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau pihak lain, maka pelaku dapat dijerat pidana korupsi dengan ancaman minimal empat tahun penjara sesuai Pasal 3 Undang-Undang Tipikor.
Pihak-pihak yang berperan dalam pengambilan keputusan atau penandatanganan transaksi ilegal dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sebagai pelaku utama (dader) atau pembantu (medepleger) berdasarkan Pasal 55 KUHP. Selain itu, pejabat pengawas internal maupun unsur pemerintah daerah yang lalai dalam menjalankan fungsi pengawasan dapat dimintai pertanggungjawaban hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian, tanggung jawab hukum dalam kasus ini tidak hanya berhenti pada pelaku eksekutif di lapangan, tetapi juga mencakup unsur struktural yang memiliki kewenangan pengawasan.
Kasus PD Pembangunan memperlihatkan celah serius dalam sistem pengawasan BUMD yang seharusnya menjadi pilar pengelolaan ekonomi daerah. Lemahnya kontrol internal dan minimnya transparansi membuka ruang bagi praktik korupsi birokratis yang sistemik. Dalam perspektif hukum progresif yang digagas Satjipto Rahardjo, penegakan hukum terhadap kasus ini tidak cukup berhenti pada penghukuman pelaku, tetapi harus diarahkan pada pembenahan sistem hukum dan tata kelola pemerintahan agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Kasus ini juga menjadi refleksi penting bagi pemerintah daerah dan lembaga hukum untuk memperkuat prinsip good governance. Aset publik adalah amanah, bukan komoditas yang dapat diperjualbelikan tanpa dasar hukum. Pelimpahan kasus PD Pembangunan ke Kejati Jabar seharusnya menjadi momentum pembenahan hukum daerah, bukan sekadar proses administratif. Masyarakat berhak menuntut transparansi, dan hukum seharusnya berpihak pada kepentingan publik, bukan melindungi kepentingan kelompok tertentu.
Seperti kata seorang aktivis hukum, βHukum yang diam di depan kekuasaan bukan hukum, melainkan alat pembenaran bagi kejahatan yang berwajah administratif.β Pernyataan ini menjadi pengingat bahwa keadilan tidak boleh berhenti di meja birokrasi. Kasus PD Pembangunan adalah ujian moral bagi lembaga penegak hukum untuk menunjukkan bahwa integritas dan keberanian masih hidup dalam sistem peradilan negeri ini.
Ketika hukum berani menyentuh pejabat daerah, di situlah rakyat mulai percaya bahwa keadilan bukan sekadar wacana.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.β