Angka-angka survei menunjukkan kabar menggembirakan: tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah Indonesia mencapai 82,7 persen untuk presiden, bahkan ada survei yang mencatat hingga 90,9 persen. TNI memimpin dengan 85,7 persen kepercayaan, disusul Kejaksaan Agung dengan 76 persen. Sebagai masyarakat Indonesia, kita seharusnya merayakan angka-angka fantastis ini. Namun, ketika turun ke lapangan, kita dapat melihat realitas yang dihadapi masyarakat sehari-hari, yang kemudian memunculkan pertanyaan kritis: apakah kepercayaan ini berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan?
1. Kesenjangan Data dan Realitas: Ketika Statistik Tak Berbicara Jujur
Mari kita mulai dengan sektor yang paling mendasar: kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan di Indonesia hanya 8,47 persen atau sekitar 23,8 juta jiwa per Maret 2025. Namun, Bank Dunia memberikan gambaran yang sangat berbeda—68,2 persen penduduk Indonesia atau 194,4 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan internasional. Kesenjangan delapan kali lipat ini bukan sekadar perbedaan metodologi, tetapi menunjukkan adanya masalah serius dalam cara pemerintah mendefinisikan realitas ekonomi rakyatnya.
Ekonom Bhima Yudhistira dari CELIOS menyatakan bahwa BPS menggunakan metode garis kemiskinan yang sudah hampir lima dekade dan tidak lagi sesuai dengan realitas ekonomi. Ketika pemerintah mengklaim keberhasilan menurunkan kemiskinan, jutaan keluarga di luar sana masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar mereka—namun secara statistik, mereka “tidak miskin.” Inilah paradoks pertama: kepercayaan publik tinggi, tapi data yang dijadikan acuan kebijakan tidak mencerminkan realitas lapangan.
2. Korupsi Merajalela, Kepercayaan Kok Naik?
Di tahun 2024, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 364 kasus korupsi yang ditangani APH—angka terendah dalam lima tahun terakhir, turun 54 persen dari 2023. Namun, kerugian negara justru melonjak hingga Rp279,9 triliun, meningkat 885,2 persen. Ini artinya: penindakan korupsi menurun, tapi nilai korupsinya semakin besar dan sistemik.
Sepanjang 2024-2025, skandal korupsi besar terus bermunculan. Ada korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina dengan kerugian Rp193,7 triliun, skandal LPEI yang merugikan negara Rp919 miliar, korupsi Bank Jatim dengan kerugian Rp299,39 miliar, hingga kasus korupsi PT SPR Riau senilai Rp33 miliar. Belum lagi kasus Tom Lembong yang mendapat abolisi presiden—sebuah keputusan yang oleh akademisi dinilai melemahkan efek jera dan mengikis kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi.
Pertanyaannya sederhana: bagaimana mungkin kepercayaan publik terhadap pemerintah mencapai 82-90 persen, sementara korupsi sistemik terus terjadi di hampir setiap sektor strategis? Skandal demi skandal ini seharusnya menggerus kepercayaan masyarakat, bukan malah meningkatkannya. Kecuali jika—dan ini yang lebih mengkhawatirkan—masyarakat sudah resign dan menganggap korupsi sebagai hal yang wajar, atau survei tersebut tidak benar-benar menangkap sentimen riil masyarakat.
3. Pelayanan Publik: Janji Digitalisasi, Realitas Maladministrasi
Pemerintah kerap membanggakan transformasi digital dalam pelayanan publik. Namun, Ombudsman RI mencatat peningkatan pengaduan masyarakat sebesar 28 persen di tahun 2024, dengan total 10.846 aduan—naik dari 8.452 di tahun sebelumnya. Maladministrasi terbanyak adalah penundaan berlarut (33,86 persen), tidak memberikan pelayanan (30,31 persen), dan penyimpangan prosedur (20,61 persen).
Sektor agraria/pertanahan memimpin dengan 17,17 persen pengaduan, diikuti kepegawaian (12,45 persen) dan pendidikan (9,56 persen). Pemerintah daerah menjadi instansi terlapor terbanyak dengan 45,88 persen kasus. Fakta ini menunjukkan bahwa meskipun ada digitalisasi, kualitas pelayanan publik masih jauh dari memuaskan. Masyarakat tetap mengalami penundaan, diabaikan, bahkan diperlakukan tidak adil dalam mengakses layanan dasar yang menjadi hak mereka.
Aplikasi pengaduan seperti SP4N-LAPOR dan Sambat Online yang seharusnya mempermudah masyarakat menyampaikan keluhan, dalam praktiknya masih lambat dalam merespons—bahkan bisa memakan waktu hingga satu bulan. Ini menunjukkan bahwa teknologi tanpa komitmen dan kapasitas SDM yang memadai hanya akan menjadi etalase kosong.
4. Transparansi yang Masih Gelap
Survei Edelman Trust Barometer 2025 menempatkan Indonesia di peringkat keenam dari 28 negara dengan skor Trust Index 76. Namun, transparansi dalam praktik pemerintahan masih menjadi masalah besar. Ketika pandemi COVID-19 melanda, Kementerian Kesehatan bahkan menyatakan tidak menguasai data pelaksanaan rapid test dan PCR di tingkat daerah—sebuah bukti nyata ketidakterbukaan yang justru mempersulit penanganan krisis.
Kebijakan penghematan anggaran 2025 lewat Inpres No. 1 Tahun 2025 juga menuai kritik karena kurangnya transparansi. Ketika pemerintah menggaungkan efisiensi, publik justru menyaksikan pemborosan dalam acara retreat kepala daerah yang menghabiskan puluhan miliar rupiah. Efisiensi tanpa transparansi, seperti ditegaskan para akademisi, hanya membuka celah korupsi yang lebih besar.
5. Kepercayaan atau Ilusi?
Tingkat kepercayaan 90,9 persen seperti yang dirilis Indonesian Social Survey (ISS) dengan sampel 2.200 responden terasa tidak nyambung dengan keluhan harian masyarakat soal kenaikan harga, PHK, dan tekanan biaya hidup. Bahkan media massa mempertanyakan validitas survei tersebut karena angka kepercayaan jarang menembus 80 persen dalam sejarah pascareformasi, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
Burhanuddin Muhtadi dari Indikator Politik menegaskan bahwa survei tersebut mengukur “kepercayaan” bukan “kepuasan”—dua hal yang berbeda. Masyarakat mungkin masih “percaya” pada institusi presiden sebagai figur simbolik, tetapi tidak puas dengan kebijakan konkret yang dirasakan di kehidupan sehari-hari. Ini adalah ilusi kepercayaan: angka tinggi yang tidak ditopang oleh perbaikan nyata di lapangan.
Kesimpulan: Kepercayaan Tanpa Akuntabilitas adalah Bom Waktu
Tingginya angka kepercayaan publik seharusnya menjadi modal besar untuk melakukan reformasi. Namun, jika kepercayaan itu tidak dibarengi dengan transparansi, pemberantasan korupsi yang konsisten, dan perbaikan pelayanan publik yang nyata, maka kepercayaan tersebut hanya ilusi yang rapuh.
Data BPS yang tidak mencerminkan realitas kemiskinan, penindakan korupsi yang melemah di tengah kerugian negara yang membengkak, maladministrasi pelayanan publik yang masih tinggi, serta transparansi yang masih gelap—semua ini adalah tanda bahwa pemerintah perlu lebih dari sekadar angka survei untuk membuktikan keberhasilannya. Kepercayaan publik adalah amanah, bukan prestasi. Dan amanah itu harus dipertanggungjawabkan dengan kerja nyata, bukan hanya retorika.
Jika tidak, kepercayaan tinggi hari ini bisa menjadi kekecewaan besar di masa depan—dan saat itu tiba, tidak ada survei yang bisa menyelamatkan legitimasi pemerintah.
Sumber/Referensi:
Indikator Politik Indonesia. (2025). Tingkat Kepercayaan Publik pada Lembaga Negara 2025. https://indikator.co.id/rilis-indikator-27-mei-2025/
Detik.com. (2025). Survei Indikator: Tingkat Kepercayaan Publik ke Presiden 82,7%. https://news.detik.com/berita/d-7935263/survei-indikator-tingkat-kepercayaan-publik-ke-presiden-82-7
Indonesian Social Survey. (2025). Survei ISS: Tingkat Kepuasan terhadap Kinerja Pemerintah 78%. https://www.tempo.co/politik/survei-iss-tingkat-kepuasan-terhadap-kinerja-pemerintah-78-persen–2061798
Universitas Muhammadiyah Tangerang. (2025). Menurunnya Kepercayaan Masyarakat Terhadap Pemerintah. https://kph.umy.ac.id/menurunnya-kepercayaan-masyarakat-terhadap-pemerintah/
Suara Surabaya. (2025). Kepercayaan 90,9%: Realitas atau Ilusi? https://www.suarasurabaya.net/catatan-pemred/2025/kepercayaan-909-realitas-atau-ilusi/
Indonesia Corruption Watch. (2025). Penindakan Korupsi 2024 Merosot Tajam: Rekor Terburuk Dalam 5 Tahun Terakhir. https://antikorupsi.org/id/penindakan-korupsi-2024-merosot-tajam-rekor-terburuk-dalam-5-tahun-terakhir
Kompas.com. (2025). ICW: Ada 364 Kasus Korupsi Sepanjang 2024, Kerugian Negara Rp279,9 Triliun. https://nasional.kompas.com/read/2025/09/30/18091761/icw-ada-364-kasus-korupsi-sepanjang-2024-kerugian-negara-rp-2799-triliun
Suara.com. (2025). Kejati Jakarta Bongkar Skandal LPEI: Negara ‘Dibobol’ Hampir Rp1 Triliun. https://www.suara.com/news/2025/10/22/220500/kejati-jakarta-bongkar-skandal-lpei-negara-dibobol-hampir-rp-1-triliun
Tempo.co. (2025). Hakim Singgung Skandal Bank Jatim, Minta Saksi Jujur. https://www.tempo.co/hukum/hakim-singgung-skandal-bank-jatim-minta-saksi-jujur-2082448
Kompasiana. (2025). Tantangan Ekonomi dan Dinamika Kepercayaan Publik dalam 6 Bulan Prabowo-Gibran. https://www.kompasiana.com/rahardian76/680e3b34c925c401b30f82f2/tantangan-ekonomi-dan-dinamika-kepercayaan-publik-dalam-6-bulan-prabowo-gibran
Ekbis Sindonews. (2025). Kesenjangan Mencolok Data Kemiskinan Milik Pemerintah dan Bank Dunia. https://ekbis.sindonews.com/read/1598389/34/kesenjangan-mencolok-data-kemiskinan-milik-pemerintah-dan-bank-dunia-disorot-ekonom-1753585663
Tazkia.ac.id. (2025). Ekonomi Indonesia di Ujung Tanduk? Mengupas Kesenjangan Data Pemerintah dan Realita Rakyat. https://tazkia.ac.id/berita/populer/1500-ekonomi-indonesia-di-ujung-tanduk-mengupas-kesenjangan-data-pemerintah-dan-realita-rakyat
Ombudsman RI. (2025). Jumlah Laporan Masyarakat ke Ombudsman RI Meningkat. https://ombudsman.go.id/pers/r/jumlah-laporan-masyarakat-ke-ombudsman-ri-meningkat
IAIN Pare. (2025). Efisiensi Tanpa Transparansi Berujung Korupsi. https://www.iainpare.ac.id/blog/opini-5/efisiensi-tanpa-transparansi-berujung-korupsi-4420
Lapor COVID-19. (2020). Buruknya Transparansi, Perparah Penanganan Pandemi. https://laporcovid19.org/post/buruknya-transparansi-perparah-penanganan-pandemi
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”