Kesetaraan gender masih menjadi perbincangan yang hangat, tidak hanya di ruang-ruang akademik, tetapi juga di ruang kelas kita sendiri. Dalam pendidikan Islam, isu ini memiliki relevansi yang sangat kuat, terutama dalam mata pelajaran fikih yang sering dianggap identik dengan hukum-hukum syariat yang kaku dan patriarkal. Namun, apakah benar fikih tidak dapat berdampingan dengan nilai-nilai kesetaraan? Atau justru kita belum optimal dalam mengajarkannya?
Sebagai mahasiswa Pendidikan Agama Islam yang meneliti langsung di MAN 5 Aceh Utara, saya melihat bagaimana pendidikan fikih di sekolah tidak hanya sekadar transfer ilmu hukum Islam, tetapi juga menjadi cermin dari nilai-nilai yang dibawa oleh pendidik dan sistem pendidikan itu sendiri. Di sinilah pentingnya membahas dan menempatkan kesetaraan gender sebagai nilai yang harus diinternalisasikan dalam pembelajaran, bukan hanya sekadar jargon.
Fikih, sebagai bagian dari khazanah intelektual Islam, adalah produk pemikiran ulama atas teks-teks wahyu dalam konteks sosial tertentu. Karena itu, pendekatan terhadap fikih seharusnya juga dinamis dan responsif terhadap perkembangan zaman—termasuk dalam isu kesetaraan gender. Sayangnya, sebagian besar materi fikih di sekolah masih disampaikan secara tekstual dan tidak memberi ruang kritis kepada peserta didik untuk memahami relasi gender secara proporsional.
Dalam pengamatan saya di MAN 5 Aceh Utara, sebagian guru telah mulai menyadari pentingnya pendekatan yang adil gender dalam mengajar fikih. Ada guru yang berupaya menyeimbangkan diskusi di kelas, memberikan ruang bicara yang setara kepada siswa laki-laki dan perempuan, serta mencoba menghadirkan contoh-contoh yang lebih inklusif.
Namun, praktik baik ini belum merata. Sebagian guru masih menggunakan pendekatan satu arah, di mana peran murid pasif dan hanya menerima materi apa adanya. Padahal, guru adalah aktor utama dalam mengubah paradigma peserta didik. Cara guru berbicara, memilih materi, hingga memberi respons terhadap pertanyaan siswa tentang perempuan dan laki-laki dalam Islam, sangat menentukan bagaimana peserta didik akan memandang konsep keadilan dan kesetaraan.
Dalam Islam, laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13 dan surat An-Nahl ayat 97. Pendidikan agama Islam, khususnya fikih, seharusnya menjadi wahana pembentukan akhlak, nilai-nilai keadilan, dan kesalingan, bukan sebaliknya.
Mengintegrasikan kesetaraan gender dalam pembelajaran fikih bukan berarti menafikan perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan, melainkan menempatkan mereka dalam posisi yang sama dalam hal kesempatan, penghargaan, dan hak dalam belajar serta berkontribusi di masyarakat.
Aceh, dengan kekhasan identitas syariatnya, memiliki potensi besar untuk menunjukkan bahwa Islam dan kesetaraan gender bukanlah dua kutub yang saling bertentangan. Justru dari sekolah-sekolah seperti MAN 5 Aceh Utara, perubahan dapat bermula. Ketika siswa dan siswi diajak berdiskusi tentang fikih dengan pendekatan yang adil, inklusif, dan humanis, maka generasi masa depan akan tumbuh sebagai Muslim yang memahami bahwa keadilan adalah ruh dari agama itu sendiri.
Sudah saatnya kita menjadikan pendidikan fikih bukan hanya sebagai hafalan hukum, tetapi sebagai ladang menanam nilai-nilai keadilan yang hidup di hati semua murid—baik laki-laki maupun perempuan.
Salah satu tantangan besar dalam penerapan kesetaraan gender di ruang kelas adalah pemahaman yang masih sempit terhadap konsep gender itu sendiri. Banyak yang menganggap kesetaraan gender sebagai upaya menyamakan seluruh peran antara laki-laki dan perempuan. Padahal, kesetaraan bukan soal menyeragamkan, melainkan memastikan bahwa setiap individu memiliki akses yang adil terhadap kesempatan, perlakuan, dan hasil yang dicapai, sesuai dengan potensinya masing-masing.
Kesadaran ini penting untuk dimiliki oleh guru, karena mereka bukan hanya pengajar tetapi juga pembentuk karakter. Guru fikih yang sadar gender akan mampu menghadirkan materi keislaman secara moderat, adil, dan kontekstual. Hal ini tidak hanya mencegah bias dalam kelas, tetapi juga membekali siswa dengan wawasan Islam yang lebih toleran dan menghargai perbedaan.
Dengan demikian, pendidikan agama Islam dapat menjadi pelopor dalam membentuk generasi yang adil dan setara. Pendidikan fikih tidak boleh hanya menjadi sarana penyampaian hukum-hukum kaku, tetapi harus menjadi wadah pembentukan nilai-nilai luhur Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam.