Bayangkan sebuah masjid di pagi hari. Jemaah yang hadir hanya segelintir, sementara jutaan muslim di luar sana sibuk scroll media sosial, mencari konten yang menghibur dalam hitungan detik. Paradoks zaman ini memaksa kita merenungkan: bagaimana nasib para juru dakwah yang dipanggil Allah sebagai “khairu ummah” (sebaik-baik umat) dalam QS. Ali Imran ayat 110? Apakah kehadiran Artificial Intelligence menjadi ancaman atau justru anugerah bagi misi dakwah yang mulia ini?
Allah berfirman dengan tegas: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” Ayat ini bukan sekadar pujian, tetapi amanah berat yang diletakkan di pundak setiap muslim, khususnya para da’i. Namun di era digital ini, realitas menunjukkan fakta yang memprihatinkan: masjid sepi dari kajian, sementara timeline media sosial penuh dengan segala macam konten—dari yang mendidik hingga yang menyesatkan. Pertanyaannya bukan lagi “apakah dakwah masih relevan?” melainkan “bagaimana dakwah harus bertransformasi?”
Artificial Intelligence datang bukan sebagai musuh, tetapi sebagai alat yang menunggu untuk diberdayakan. Bayangkan jika para ulama dan da’i memanfaatkan AI untuk menerjemahkan kajian kompleks menjadi konten visual yang memikat dalam 60 detik. Bayangkan chatbot berbasis AI yang siap menjawab pertanyaan keagamaan 24/7 dengan rujukan shahih. Bayangkan algoritma yang dirancang untuk menyebarkan kebaikan, bukan kebencian. Inilah peluang emas yang tak boleh dilewatkan. Masa depan dakwah bukan tentang melawan teknologi, tetapi tentang bagaimana kita mengislamkan teknologi itu sendiri.
Kondisi umat yang cenderung malas mendengar kajian panjang bukanlah tanda kehancuran, melainkan sinyal untuk berevolusi. Generasi Z dan Alpha memiliki attention span yang berbeda, bukan berarti mereka tak butuh hidayah. Mereka justru haus akan kebenaran, hanya saja dalam kemasan yang sesuai dengan cara mereka memproses informasi. Juru dakwah masa depan adalah mereka yang mampu mengemas hikmah mendalam dalam format yang ringkas namun mengena. Bukan tentang menurunkan standar kualitas, tetapi tentang meningkatkan efektivitas komunikasi.
Media sosial, yang sering dicap sebagai sumber maksiat, sejatinya adalah lapangan dakwah terluas dalam sejarah Islam. Rasulullah SAW berdakwah dari rumah ke rumah, dari pasar ke pasar. Kini, dengan satu postingan, dakwah bisa menjangkau jutaan jiwa dalam sekejap mata. Instagram Reels, TikTok, YouTube Shorts—ini semua adalah mimbar digital yang menanti para da’i cerdas untuk menaikinya. Bukan mimbar yang lebih rendah derajatnya, tetapi mimbar dengan jangkauan yang lebih luas dampaknya. Pertanyaannya: sudahkah para da’i menguasai ‘bahasa’ mimbar ini?
Namun transformasi ini menuntut keberanian untuk keluar dari zona nyaman. Para juru dakwah tidak bisa lagi hanya mengandalkan metode ceramah satu arah selama berjam-jam. Mereka harus belajar storytelling, memahami algoritma, menguasai editing video, dan yang terpenting—memahami psikologi audiens digital. AI bisa membantu menganalisis konten mana yang paling efektif, waktu posting terbaik, hingga bahasa yang paling resonan dengan target audiens. Ini bukan tentang menjadi da’i yang “viral”, tetapi menjadi da’i yang “impactful”.
Kritik akan muncul: “Dakwah kok pakai AI? Bukankah ini menghilangkan sentuhan kemanusiaan?” Jawabannya sederhana: AI adalah alat, bukan pengganti. Seperti mic, speaker, atau proyektor yang memperkuat suara da’i, AI memperluas jangkauan dan efektivitas dakwah. Yang tak tergantikan adalah keikhlasan, keilmuan, dan keteladanan para da’i itu sendiri. AI bisa membuat konten viral, tetapi hanya da’i berakhlak mulia yang bisa mengubah hati. Teknologi menyampaikan pesan, tetapi nur Ilahi yang menggerakkan jiwa.
Masa depan dakwah adalah kolaborasi sinergis antara kearifan tradisional dan inovasi digital. Bayangkan pondok pesantren yang mengajarkan tahfidz sekaligus digital marketing untuk dakwah. Bayangkan ustadz yang tidak hanya menguasai kitab kuning, tetapi juga mengerti cara kerja algoritma YouTube. Bayangkan generasi da’i yang paham bahwa menyebarkan satu hadits shahih di media sosial sama mulianya dengan mengajarkan Al-Qur’an di musholla. Inilah generasi juru dakwah yang akan membawa Islam tetap relevan dan bercahaya di setiap zaman.
Tantangan terbesar bukanlah teknologi atau kemalasan umat, tetapi keengganan untuk berubah. Banyak da’i yang terjebak dalam romantisme masa lalu, menolak beradaptasi dengan dalih “menjaga kemurnian dakwah”. Padahal, Rasulullah SAW sendiri adalah teladan terbaik dalam hal inovasi metode dakwah beliau mendakwahi orang Arab dengan cara berbeda dari cara beliau mendakwahi delegasi dari negeri lain. Kemurnian dakwah terletak pada isi dan niat, bukan pada mediumnya. Saatnya para da’i memahami bahwa beradaptasi dengan zaman bukan pengkhianatan terhadap tradisi, tetapi kesetiaan terhadap misi.
Allah menyebut kita “khairu ummah” bukan karena kita sempurna, tetapi karena kita punya misi: amar ma’ruf nahi munkar. Di era AI dan dominasi media sosial ini, misi itu tidak berubah yang berubah adalah medan pertempurannya. Juru dakwah masa depan adalah mereka yang berani memasuki medan digital dengan senjata teknologi, namun tetap berpegang teguh pada fondasi akidah yang kokoh. Mereka adalah da’i yang tidak takut viral, tetapi juga tidak tergoda popularitas. Mereka paham bahwa satu jiwa yang terselamatkan dari postingan 30 detik lebih berharga daripada seribu likes tanpa dampak. Masa depan dakwah bukan tentang bertahan tetapi tentang menaklukkan setiap platform, setiap algoritma, dan setiap hati dengan cahaya Islam yang tak pernah padam. Inilah saatnya juru dakwah bangkit, bukan dengan keluhan, tetapi dengan kreasi.
By. Muyu
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”