“Tetap semangat!”, “bahagia terus ya!”. Kata-kata tersebut pasti sering terdengar saat kita dalam kondisi sedih dan kata-kata ini juga sering kali kita temui di media sosial. Kalimat penyemangat itu sekilas terdengar menenangkan dan memberi perhatian, seolah penuh empati. Namun, jujur saja setelah membacanya apakah akan mendatangkan kelegaan? Atau malah membuat kita semakin tertekan karena merasa harus bahagia? Sebenarnya, kalimat-kalimat penyemangat itu justru menimbulkan tekanan baru, karena kita seperti dituntut untuk selalu terlihat baik-baik saja, padahal pada kenyataannya tidak selalu begitu.
Media Sosial Mengubah Cara Berpikir
Media sosial perlahan mengubah cara kita berpikir tentang hidup yang “ideal”. Di dunia maya, bahagia sering digambarkan lewat unggahan di media sosial seperti liburan, makan di restoran hits, atau foto keluarga yang tampak hangat dan harmonis. Dari situ muncul persepsi bahwa hidup yang sempurna adalah hidup yang bahagia. Banyak orang akhirnya merasa bersalah hanya karena sedang lelah atau tidak sepositif yang diharapkan. Padahal merasa tidak baik-baik saja itu hal yang wajar dan manusiawi.
Di era Gen-Z sekarang banyak sekali contoh fenomena toxic positivity, yaitu para remaja membuat akun Instagram lebih dari satu, seperti second account atau dump account dengan alasan mecari kebebasan berekspresi dan menjaga privasi tanpa harus takut dihakimi. Akun utama biasanya lebih banyak pengikut untuk memperbanyak relasi dan membangun personal branding yang baik daripada mengunggah momen sedih dan kegagalan. Sehingga sering kali hal tersebut malah membuat pikiran kita harus selalu tampil sempurna di mata orang lain, seperti mengunggah hal-hal bahagia, pencapaian, atau hal-hal positif saja. Sehingga, di saat kita mengunggah momen sedih dan kegagalan, bisa memunculkan rasa bersalah, seolah kita membuat dosa hanya karena mengunggah perasaan yang sebenarnya. Sedangkan pada akun kedua, lebih bisa berekspresi tanpa harus takut dihakimi karena pengikutnya hanya sebatas orang-orang terdekat.
Positivitas Menjadi Racun?
Berpikir positif memang hal yang baik, tetapi bisa menjadi masalah kalau kita selalu berpikir positif dan mengabaikan perasaan sedih, marah, dan kecewa. Inilah yang dinamakan toxic positivity, di mana tekanan membuat kita menolak sisi manusiawi kita sendiri, bukan lagi bentuk semangat yang sehat.
Toxic Positivity membuat kita berusaha harus tampak kuat disaat hari berkata sebaliknya. Dipaksa tersenyum ditengah rasa lelah dan berpura-pura tegar saat ingin menangis. Kalimat penenang dan penyemangat itu hanya terdengar menenangkan di permukaan dan membuat emosi kita tida valid. Padahal sebenarnya yang dibutuhkan adalah ruang untuk didengar tanpa dihakimi, bukan nasihat untuk bangkit. Toxic positivity dari sudut pandang psikologi bukanlah hal yang baik, karena menolak emosi negatif dan menuntut diri sendiri atau orang lain agar selalu positif secara berlebihan. Jika hal ini dilakukan berulang, bisa membuat diri sendiri capek, bukan hanya capek mental, tetapi juga emosional dan bisa menyebabkan peningkatan resiko stres, kecemasan, serta penghambatan emosi.
Masyarakat Terlalu Menyembah Citra Positif
Toxic positivity ternyata tidak hanya tersebar di media sosial saja, tetapi juga muncul di dunia nyata seperti di lingkungan masyarakat, bahkan di dunia pendidikan. Contohnya ketika ada tetangga yang sedang terkena musibah, sering kali terucap ucapan, “yang tabah ya, nanti akan diganti yang lebih baik.” Niatnya memang baik untuk menenangkan tetangga yang kesusahan. Tetapi, jika kalimat tersebut diucapkan terus menerus akan menyebabkan orang tersebut merasa tidak punya hak untuk sedih.
Hal yang sama juga sering terjadi di kampus. Banyak mahasiswa yang diterima di jurusan atau universitas yang sebenarnya bukan pilihan mereka. Di awal perkuliahan, kadang mereka masih merasa kecewa atau belum bisa menerima keadaan. Namun, sering kali mendapat tanggapan yang kurang enak ketika mencoba bercerita ke temannya, seperti “kamu harusnya bersyukur masih bisa kuliah. Coba lihat teman-temanmu yang lain yang belum punya kesempatan kayak kamu.” Bukannya memotivasi supaya bisa bangkit, kalimat tersebut tanpa disadari malah membuat orang merasa bersalah karena belum bisa menerima keadaan.
Padahal, tidak apa-apa kalau sedang sedih, kecewa, atau belum bisa bersyukur. Manusia tidak harus kuat setiap saat. Kadang yang paling dibutuhkan bukan kata-kata penyemangat, melainkan telinga yang mau mendengarkan, bahu untuk bersandar, dan hati yang mau memahami tanpa menghakimi. Karena sering kali, empati jauh lebih menyembuhkan daripada kalimat positif yang dipaksakan.
Intinya kita terjebak dalam budaya masyarakat yang menyembah citra positif: yang penting tampak bahagia. Citra positif tanpa ruang kejujuran nantinya akan berdampak melahirkan generasi baru yang kehilangan kemampuan untuk mengenali emosinya sendiri. Remaja menganggap kalau menangis itu artinya lemah, padahal itu salah satu cara meng-ekspresikan diri. Begitupun dengan orang dewasa yang selalu berpura-pura kuat padahal ia penuh luka dan perlu ruang untuk menjadi lemah.
Namun tenang saja, banyak sekali cara dan solusi untuk menyelesaikan permasalahan ini. Pertama, sebisa mungkin untuk selalu menerima semua perasaan yang ada. Sebagai manusia kita harus realistis, emosi negatif juga salah satu hal yang diperlukan dalam kehidupan. Maka dari itu, perasaan cemas dan sedih itu hal yang normal dan bukan tanda kalau kita lemah. Kemudian, lakukan pengelolaan terhadap stres, bisa dilakukan dengan meditasi, journaling, dan masih banyak lagi cara untuk membantu meredakan stres tanpa harus menghapus emosi negatif.
Jadi mulai sekarang, jangan terlalu menuntut prinsip hidup ideal adalah hidup yang selalu bahagia. Terlalu menuntut hal-hal yang positif membuat kita kehilangan keseimbangan dari kehidupan. Terima dan kelola dengan baik semua perasaan yang kalian rasakan.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”
































































