“Apakah aku berada di jalan yang benar?” Pertanyaan ini, meski sederhana, menjadi pemicu gelisah yang tak sedikit dirasakan oleh generasi muda hari ini. Di usia awal 20-an hingga menjelang 30 tahun, banyak anak muda merasa bimbang, tidak percaya diri, tertekan oleh ekspektasi sosial, dan bingung menentukan arah hidup. Fenomena ini dikenal sebagai quarter life crisis—krisis seperempat abad yang menjadi potret umum perjalanan emosional generasi muda masa kini.
Apa Itu Quarter Life Crisis?
Quarter life crisis adalah fase ketika individu mulai merasakan ketidakpastian dalam banyak aspek kehidupannya—karier, pendidikan, relasi, dan identitas diri. Menurut Fitriana (2024), kondisi ini umumnya dialami pada masa emerging adulthood (usia 18–29 tahun), saat seseorang mulai mengambil keputusan besar dalam hidup, namun masih dibayangi ketakutan akan kegagalan dan ketidaksiapan menghadapi kenyataan.
Banyak yang merasa tertinggal dari teman sebayanya, terjebak dalam tuntutan orang tua, atau tertekan oleh gambaran kesuksesan di media sosial. Semua ini membentuk tekanan psikologis yang kompleks dan kerap tidak dibicarakan secara terbuka.
Antara Ekspektasi dan Realita
Realita tidak selalu semanis rencana. Tak jarang, lulusan perguruan tinggi kesulitan mencari pekerjaan, pekerja muda merasa terjebak dalam rutinitas yang tidak memuaskan, atau individu belum menemukan tujuan hidup yang benar-benar “klik” dengan dirinya. Sebagian bahkan merasa takut menua karena belum mencapai “standar sukses” yang dibentuk masyarakat (Rahman, 2024).
Media sosial turut memperkuat tekanan ini. Ketika setiap hari kita dihadapkan pada pencapaian orang lain—promosi kerja, pernikahan, bisnis sukses—muncul rasa tertinggal dan tidak cukup. Padahal, setiap orang memiliki garis waktunya sendiri.
Pencarian Jati Diri: Antara Kebutuhan dan Kebingungan
Krisis seperempat abad juga erat kaitannya dengan pencarian jati diri. Di usia ini, seseorang tidak hanya mencari penghasilan, tetapi juga mencari makna dari apa yang dikerjakannya. Menurut Sari dan Siregar (2024), individu pada fase ini mulai mengeksplorasi nilai, minat, dan kepribadian untuk membentuk identitas diri yang autentik.
Namun proses ini tidak selalu mudah. Ketika lingkungan sekitar belum mendukung eksplorasi diri, atau justru memaksakan arah tertentu, krisis identitas bisa menjadi semakin dalam. Akibatnya, muncul rasa kehilangan arah, overthinking, bahkan gejala gangguan kesehatan mental seperti cemas berlebihan dan depresi ringan.
Perlu Ruang Aman untuk Tumbuh
Fenomena quarter life crisis bukan aib yang harus disembunyikan, melainkan proses tumbuh yang perlu dimaknai. Generasi muda perlu ruang aman untuk berdialog tentang keresahan mereka—baik dengan teman sebaya, mentor, maupun profesional. Keterbukaan akan pengalaman ini bisa menjadi cara untuk mengurai beban dan menemukan makna.
Selain itu, pendidikan formal dan nonformal perlu lebih responsif terhadap kebutuhan emosional dan psikologis generasi muda. Bekal keterampilan hidup (life skills), kemampuan mengelola emosi, serta pendidikan tentang karier dan relasi menjadi sangat penting sebagai bagian dari kurikulum pengembangan diri.
Kesimpulan
Quarter life crisis adalah sinyal bahwa seseorang sedang berada dalam masa transisi penting—menuju kedewasaan yang utuh. Alih-alih dianggap kelemahan, fase ini bisa menjadi momentum untuk mengenal diri lebih dalam, menyusun ulang prioritas, dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat. Karena sejatinya, hidup tidak selalu tentang “cepat berhasil”, tetapi tentang menemukan arah yang benar dan tetap melangkah, meski perlahan.
Penulis: Enjelin Amanda Dewi
Sumber gambar: canva.com