Di Indonesia politik sering terasa seperti pertunjukan besar. Para politisi tampil gagah dengan janji-janji perubahan, berbicara soal kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Namun setelah pemilu usai, banyak dari mereka seolah menghilang di balik kursi kekuasaan. Janji-janji tinggal kata-kata, dan rakyat kembali hanya menjadi penonton dari cerita yang sama.
Demokrasi memang memberi ruang bagi rakyat untuk memilih. Tapi, kenyataannya kekuasaan sering lebih kuat daripada suara rakyat itu sendiri. Ketika kepentingan pribadi dan partai lebih diutamakan, maka makna politik perlahan bergeser bukan lagi soal pengabdian, melainkan soal siapa yang paling berkuasa.
Politik yang Masih Transaksional
Masalah utama dalam politik Indonesia adalah kuatnya budaya transaksional. Banyak keputusan penting diambil bukan karena kebutuhan rakyat, tetapi karena kesepakatan antar-elite di belakang layar. Jabatan, proyek, dan dukungan politik kerap dijadikan alat tukar.
Fenomena politik uang juga masih marak. Dalam setiap pemilu, masyarakat sering disuguhi bantuan, sembako, atau amplop menjelang pencoblosan. Akibatnya, politik kehilangan esensinya sebagai ruang ide dan gagasan.
Menurut Syamsuddin Haris (2014) dalam jurnal Demokrasi dan Tantangan Oligarki di Indonesia (LIPI Press), demokrasi kita masih dikendalikan oleh kelompok elite yang memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan ekonomi dan politik pribadi. Tak heran, rakyat kerap merasa hanya jadi alat, bukan pemegang kendali sejati dalam sistem demokrasi ini.
Politik Digital: Antara Kesadaran dan Kekacauan
Kini politik tidak hanya berlangsung di gedung pemerintahan atau panggung kampanye, tetapi juga di dunia digital. Media sosial menjadi arena baru tempat politisi membangun citra dan mencari simpati publik. Namun, ruang ini tidak selalu sehat. Hoaks, ujaran kebencian, dan fanatisme politik menyebar dengan cepat, membuat masyarakat terpecah belah hanya karena perbedaan pilihan.
Kita sering melihat linimasa dipenuhi debat politik yang tidak produktif. Padahal, demokrasi mestinya menjadi tempat tukar pikiran, bukan ajang saling serang. Meski begitu, politik digital juga punya sisi positif. Gerakan seperti #SaveKPK dan #ReformasiDikorupsi menunjukkan bahwa masyarakat, terutama anak muda, bisa bersuara dan menekan pemerintah agar lebih transparan.
Seperti dijelaskan oleh Eko Harry Susanto (2020) dalam jurnal Komunikasi Politik di Era Digital, media sosial bisa menjadi sarana pengawasan publik yang efektif asalkan disertai literasi digital yang baik.
Generasi Muda dan Harapan Baru
Di tengah banyaknya masalah politik, generasi muda muncul sebagai harapan baru. Banyak anak muda yang kini mulai sadar pentingnya ikut terlibat dalam politik. Mereka aktif berdiskusi, menyuarakan opini, bahkan ikut berkontribusi melalui komunitas independen.
Generasi muda membawa cara pandang yang lebih terbuka dan berani. Kalau semangat kritis dan idealisme ini dijaga, mereka bisa menjadi kekuatan yang memperbaiki arah demokrasi Indonesia. Menurut Darmawan (2021) dalam jurnal Partisipasi Politik Generasi Milenial di Indonesia, keterlibatan generasi muda merupakan faktor penting dalam menciptakan sistem politik yang bersih dan transparan.
Penutup: Dari Penonton Menjadi Pemain
Politik tidak seharusnya hanya menjadi tontonan yang penuh janji dan drama. Politik sejati adalah kerja nyata yang berlandaskan tanggung jawab dan keberpihakan pada rakyat.
Kalau politisi masih sibuk memainkan peran di panggung kekuasaan, maka rakyat harus berani naik ke panggung dan mengambil peran. Kita tidak bisa terus jadi penonton yang pasif. Kita harus ikut berpikir, memilih dengan sadar, dan berani mengawasi. Karena tanpa rakyat yang aktif, panggung politik akan terus dikuasai oleh aktor lama dengan cerita yang sama.
Demokrasi sejati lahir dari rakyat yang peduli dan pemimpin yang jujur. Jika dua hal itu berjalan bersama, maka politik Indonesia tidak akan lagi menjadi drama yang melelahkan, tapi kisah nyata tentang perubahan.
Referensi :
Haris, Syamsuddin. (2014). Demokrasi dan Tantangan Oligarki di Indonesia. LIPI Press.
Susanto, Eko Harry. (2020). Komunikasi Politik di Era Digital. Jurnal Komunikasi, Universitas Tarumanagara.
Darmawan, I. (2021). Partisipasi Politik Generasi Milenial di Indonesia. Jurnal Politik dan Sosial, Universitas Airlangga.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”