Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, kehidupan manusia semakin tak bisa lepas dari peran perangkat digital dalam aktivitas sehari-hari. Perangkat-perangkat pintar seperti ponsel, jam tangan, kamera rumah tangga, hingga sikat gigi elektrik bukan hanya membantu kehidupan menjadi lebih praktis, tetapi juga secara tidak langsung merekam jejak perilaku penggunanya. Fenomena ini tercermin dalam sebuah berita viral tentang seorang istri di Inggris yang berhasil membongkar perselingkuhan suaminya melalui data sikat gigi elektrik yang terkoneksi aplikasi. Kisah unik ini membuka perdebatan baru tentang bagaimana teknologi memengaruhi hubungan manusia di era digital.
Meski terdengar unik, kisah ini mencerminkan dinamika baru dalam relasi sosial di era digital. Peristiwa yang awalnya tampak sepele—sikat gigi—menjadi bukti otentik untuk mengungkap kebohongan dalam rumah tangga. Aplikasi yang awalnya digunakan untuk memantau anak-anak justru membuka tabir perselingkuhan. Dari sudut pandang sosiologis, ini menunjukkan bahwa teknologi tidak lagi menjadi sekadar alat bantu, tetapi telah menjelma menjadi aktor penting yang membentuk ulang pola hubungan dan kepercayaan.
Dalam hubungan pernikahan, kepercayaan menjadi fondasi utama. Namun, kepercayaan di era digital kini memiliki wajah baru. Tidak cukup hanya dengan janji dan kata-kata, kepercayaan bisa diuji melalui data digital yang terekam oleh perangkat yang digunakan setiap hari. Jejak digital menjadi sumber kebenaran baru yang sering kali tak terbantahkan. Di satu sisi, ini dapat memperkuat kejujuran, namun di sisi lain dapat mengikis rasa saling percaya karena munculnya kecenderungan untuk memantau secara terus-menerus dan curiga terhadap pasangan.
Sosiolog Anthony Giddens dalam teori refleksivitas modernitas menjelaskan bahwa masyarakat modern mengalami pergeseran relasi sosial yang semakin reflektif, artinya individu senantiasa menilai, menyesuaikan, dan bahkan mencurigai hubungan yang dijalani berdasarkan informasi dan data yang terus diperoleh. Dalam konteks ini, relasi suami-istri tak lagi cukup didasarkan pada rasa percaya, tetapi juga dibentuk ulang oleh data dan jejak digital yang ada. Giddens menyebut bahwa keintiman modern adalah “keintiman yang terfragmentasi dan dipantau” yang berbeda dengan pola keintiman tradisional.
Sementara itu, Michel Foucault dengan konsep panopticon dan power-knowledge memberikan pandangan bahwa kekuasaan di masyarakat modern bukan lagi bersifat represif secara langsung, melainkan hadir dalam bentuk pengawasan yang terus-menerus dan tersembunyi. Teknologi menjadi medium kekuasaan yang mampu merekam, mengontrol, dan membentuk perilaku individu. Sikat gigi elektrik dalam kasus ini menjadi alat pengawasan mikro yang mampu menghadirkan kekuasaan dalam ranah domestik, tanpa perlu intervensi dari otoritas eksternal.
Pertanyaannya kemudian: sejauh mana manusia siap hidup berdampingan dengan perangkat yang selalu mencatat aktivitasnya? Apakah rumah sebagai ruang privat kini telah kehilangan maknanya? Dalam kondisi seperti ini, teknologi tidak lagi netral. Ia membawa konsekuensi sosial yang besar, termasuk dalam relasi rumah tangga. Jika tidak dibarengi dengan literasi dan kesepahaman bersama, maka teknologi justru dapat menjadi penyebab konflik.
Lebih jauh, kasus ini menyoroti bagaimana data telah menjadi komoditas sosial. Data tidak lagi hanya milik individu, tetapi bisa menjadi alat pembuktian, alat pengawasan, bahkan senjata dalam konflik rumah tangga. Dalam perspektif sosiologi digital, masyarakat masa kini disebut sebagai datafied society—masyarakat yang kehidupannya dibentuk, dipantau, dan dimediasi oleh data. Dalam situasi semacam ini, penting bagi individu untuk tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga subjek yang mampu mengelola dan mengendalikan data pribadinya.
Sebagai refleksi, perkembangan teknologi yang pesat harus diimbangi dengan etika digital dan literasi relasi. Teknologi seharusnya menjadi alat bantu yang memperkuat hubungan antarindividu, bukan justru menjadi penyebab keretakan. Dalam rumah tangga, penting membangun kesepakatan bersama tentang batas privasi dan penggunaan data. Komunikasi terbuka, bukan pengawasan diam-diam, seharusnya menjadi jalan utama menjaga keutuhan hubungan.
Kisah sikat gigi elektrik yang membongkar perselingkuhan memang unik, namun menyimpan pesan penting: bahwa relasi manusia kini tidak bisa dipisahkan dari realitas digital. Jejak aktivitas yang tertinggal bisa menjadi sumber kejujuran atau konflik, tergantung bagaimana kita memaknainya. Di era ini, menjaga relasi tidak hanya butuh rasa, tapi juga kesadaran kritis akan teknologi dan bagaimana ia membentuk kehidupan kita sehari-hari.