

Dalam konteks perbedaan kota dan desa, teori embeddedness dari Karl Polanyi dan Mark Granovetter memberikan penjelasan penting. Polanyi (1944) berpendapat bahwa kegiatan ekonomi selalu “tertanam” (embedded) dalam struktur sosial dan budaya masyarakat. Artinya, ekonomi tidak berdiri sendiri, tetapi bergantung pada hubungan sosial, norma, dan institusi yang mengikat individu di dalam komunitasnya.
Di desa, aktivitas ekonomi masih sangat melekat pada nilai gotong royong, solidaritas sosial, dan hubungan komunitas yang kuat. Mekanisme pertukaran dan distribusi sumber daya sering kali didasarkan pada kepercayaan dan jaringan sosial lokal—bukan semata logika pasar.
Sebaliknya, di kota, proses ekonomi cenderung terlepas dari relasi sosial dan menjadi lebih individualistik. Granovetter (1985) menekankan bahwa ketika ekonomi kehilangan embeddedness-nya—atau ketika hubungan sosial tidak lagi menjadi landasan transaksi—maka muncul kerentanan dan ketimpangan yang lebih tinggi.
Inilah yang tampak dalam dinamika kemiskinan kota: masyarakat perkotaan menghadapi tekanan biaya hidup, persaingan ekonomi, dan lemahnya jaringan sosial, sedangkan desa justru mulai membangun solidaritas ekonomi baru melalui BUMDes, koperasi, dan digitalisasi usaha lokal.
Dengan kata lain, penurunan kemiskinan di desa bukan hanya akibat bantuan pemerintah, tetapi juga karena ekonomi pedesaan masih “tertanam” dalam jaringan sosial yang adaptif, sementara ekonomi perkotaan makin “terlepas” dari konteks sosial yang menopangnya.
4. Faktor-faktor Penentu dan Rekomendasi Kebijakan
Beberapa faktor berkontribusi pada mengapa ketimpangan di kota memburuk sementara desa mulai menunjukkan perbaikan:
- Akses terhadap pekerjaan formal dan pendapatan stabilDi kota, banyak pekerja berada di sektor informal atau pekerjaan kontrak dengan gaji tak tetap, membuat mereka rentan terhadap fluktuasi ekonomi.
- Tekanan biaya hidup perkotaanHarga pangan, sewa rumah, transportasi, layanan publik—semuanya cenderung lebih tinggi di kota dan dapat menyedot sebagian besar pendapatan rumah tangga yang rendah atau menengah.
- Investasi dan akumulasi asetOrang kota lebih berpeluang memiliki akses ke aset produktif (properti, saham, usaha skala menengah), sehingga distribusi pendapatan semakin timpang.
- Efek pembangunan desa dan program pro-rakyatPemerintah selama ini telah menyalurkan dana desa, memperkuat BUMDes, dan mendukung digitalisasi usaha di pedesaan. Hal ini memungkinkan penduduk desa mendapatkan pendapatan alternatif dan diversifikasi usaha lokal.
- Migrasi sirkular & urban-rural returnBeberapa warga kota, yang tak mampu bertahan dengan biaya hidup tinggi, kembali ke desa dan mengembangkan aktivitas ekonomi lokal.
- Subsidi spesifik untuk rumah tangga urban berpenghasilan rendah, seperti subsidi pangan lokal, subsidi angkutan umum, atau pemangkasan tarif dasar listrik.
- Insentif kredit mikro & pembiayaan inovatif untuk UMKM kota, supaya mereka tak tercekik ketika skala usaha kecil menghadapi persaingan tinggi dan biaya operasional besar.
- Kebijakan redistributif & progresif (misal pajak properti atau pajak kekayaan) untuk merekayasa distribusi aset, khususnya di kota.
- Pengembangan sektor ekonomi kreatif & ekonomi digital di desa agar pembangunan pedesaan tidak hanya bergantung pada pertanian saja.
- Program migrasi kembali (return migration) yang terencana — membantu warga kota kembali ke desa dengan modal usaha, pelatihan, sarana produksi, dan akses pasar lokal serta nasional.

Pertanyaannya, apakah kebijakan publik sudah cukup adaptif untuk merespon disparitas ini? Apakah pembangunan masa depan akan dibangun kembali dari desa, ataukah kota tetap menjadi pusat yang semakin elit?
Badan Pusat Statistik. (2025a). Persentase Penduduk Miskin Menurut Daerah (P0), 2025 [Tabel statistik]. Diakses dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTg0IzI%3D/persentase-penduduk-miskin–p0–menurut-daerah.html
Badan Pusat Statistik. (2025b). Persentase Penduduk Miskin September 2024 – 2025 [Siaran pers]. Diakses dari https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2025/01/15/2401/persentase-penduduk-miskin-september-2024-turun-menjadi-8-57-persen-.html
Badan Pusat Statistik. (2025c). Gini Ratio Menurut Provinsi & Daerah, 2025 [Tabel statistik]. Diakses dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/OTgjMg%3D%3D/gini-ratio-menurut-provinsi-dan-daerah.html
Detik. (2025). BPS Sebut Penduduk Miskin Indonesia Tembus 24 Juta Orang [Berita]. Diakses dari https://www.detik.com/sumut/bisnis/d-7733642/bps-sebut-penduduk-miskin-di-indonesia-tembus-24-juta-orang
Granovetter, M. (1985). Economic Action and Social Structure: The Problem of Embeddedness. American Journal of Sociology, 91(3), 481–510.
Kontan. (2025). Gini Rasio Indonesia Turun, Tapi Ketimpangan di Kota Masih Tinggi. Diakses dari https://nasional.kontan.co.id/news/gini-rasio-indonesia-turun-tapi-ketimpangan-di-kota-masih-tinggi
Metro TV. (2025). BPS: Tingkat Kemiskinan di Pedesaan 11,03 % vs Kota 6,73 % [Berita]. Diakses dari https://www.metrotvnews.com/read/NnjCeVDM-bps-penduduk-miskin-turun-jadi-23-85-juta-orang
Polanyi, K. (1944). The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. Beacon Press.
ValidNews. (2025). Rasio Gini, BPS: Ketimpangan Kekayaan Kota Lebih Parah Dibanding Desa. Diakses dari https://validnews.id/ekonomi/rasio-gini-bps-ketimpangan-kekayaan-kota-lebih-parah-dibanding-desa
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”