Kisah Pelaut Tana Luwu “Di Atas Gelombang Sejarah Jejak Pelaut Tana Luwu”
Ketika fajar menyingsing di Teluk Bone, bayangan kapal-kapal Pelaut mulai tampak seperti siluet masa lalu. Di ufuk jauh, deburan ombak bercerita tentang negeri tua yang pernah berjaya di lautan: Tana Luwu, tanah pelaut, tanah para penjelajah Nusantara.
Sejak berabad-abad silam, jauh sebelum kapal-kapal modern menorehkan jejaknya di samudra, pelaut Luwu telah menjadi penakluk gelombang. Di bawah panji Kedatuan Luwu, mereka mengarungi pesisir timur Sulawesi, menembus Selat Makassar, bahkan menyeberang hingga ke kepulauan Maluku dan pesisir Kalimantan. Catatan lontara dan kisah lisan para tetua menyebut pelaut Luwu sebagai pembawa besi Luwu—logam legendaris yang dulu menjadi komoditas strategis untuk pembuatan senjata di seantero Nusantara.
Di dermaga Palopo, yang dahulu dikenal sebagai pusat Kedatuan, pernah berdiri pelabuhan penting yang menjadi titik singgah kapal niaga dari Makassar, Malaka, hingga Ternate. Dari sinilah para pelaut muda berangkat, membawa damar, rotan, beras, dan hasil bumi Luwu, lalu kembali dengan rempah, kain sutra, dan cerita dari negeri-negeri jauh. Mereka bukan sekadar pedagang; mereka adalah duta budaya, menebarkan bahasa, adat, dan jiwa maritim Luwu ke berbagai pelabuhan.
Di antara legenda yang paling masyhur adalah kisah keturunan Sawerigading—tokoh epik dalam epos I La Galigo. Sawerigading digambarkan sebagai pelaut ulung yang menyeberangi samudra demi cinta dan petualangan. Bagi orang Luwu, ia bukan sekadar mitos, melainkan simbol keberanian menantang takdir. Semangat itulah yang menurun pada generasi pelaut nyata: para nakhoda, pelaut niaga, dan nelayan Tana Luwu yang hingga kini tetap mengarungi laut demi menjaga tradisi.
Di abad ke-20, ketika dunia memasuki era kapal uap dan perniagaan modern, pelaut Luwu tak gentar menghadapi perubahan. Banyak di antara mereka menjadi awak kapal niaga internasional, membawa nama Luwu ke Samudra Pasifik, Laut Cina Selatan, hingga pelabuhan Eropa. Mereka belajar teknologi pelayaran baru, tetapi tetap membawa falsafah leluhur: “Mabbulo Sibatang”—persatuan bagaikan sebatang pohon yang kuat, agar tak mudah tumbang diterpa badai.
Kini, meski Palopo dan pesisir Luwu telah modern, aroma garam laut masih menjadi napas kehidupan. Setiap anak muda yang melangkah ke kapal atau perahu sesungguhnya sedang menyambung warisan panjang. Mereka bukan hanya mencari nafkah; mereka adalah penjaga memori kolektif, memastikan kisah pelaut Tana Luwu tetap bergema di antara deru ombak.
“ Laut Bukan Hanya Tempat Berlayat” Kata Seorang Pelaut Muda dari Tana Luwu Gunawan Sikala Ia Adalah Cermin Jiwa Kita Selama ada Ombak, Selama itu pula Semangat Pelaut Tana Luwu Akan Terus Hidup . Jejak yang Abadi .
Penulis: Gunawan Sikala, Amd.Tra.,M.Mar.E Judul : Kisah Pelaut Tana Luwu “Di Atas Gelombang Sejarah Pelaut Tana Luwu”
Kisah pelaut Tana Luwu adalah cerita tentang keberanian, perdagangan, dan pertemuan budaya. Dari epos I La Galigohingga generasi pelaut modern, mereka adalah bukti bahwa laut bukan sekadar pemisah pulau, tetapi jembatan sejarahyang menyatukan Nusantara.
Wija To Luwu
Salama’ Ki To Pada Salama’
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”