Raja Ampat—Ketika Pulau Gag salah satu gugusan pulau di Raja Ampat, ditetapkan sebagai lokasi eksploitasi tambang nikel oleh PT Gag Nikel, banyak yang melihatnya sebagai bagian dari strategi hilirisasi nasional. Namun, bagi masyarakat adat Moi dan Maya, tambang bukan sekadar proyek ekonomi, melainkan ancaman langsung terhadap tanah leluhur, identitas budaya, dan kelangsungan hidup.
Pulau Gag, yang termasuk kawasan konservasi dan dikenal karena keanekaragaman hayati lautnya, menyimpan cadangan nikel yang menjadi incaran industri. PT Gag Nikel, anak usaha dari PT Aneka Tambang (Antam) dan Eramet (Prancis), kembali melanjutkan operasinya setelah sempat dihentikan pada tahun 2004 karena ditolak oleh masyarakat dan adanya larangan tambang di kawasan konservasi. Namun, pada 2017, izin usaha pertambangan (IUP) kembali terbit. Negara membuka jalan.
“Tanah ini bukan sekadar tempat tinggal. Ini adalah tubuh dan jiwa kami,” ujar Yohanes Beser, tokoh adat Suku Moi, dalam sebuah forum diskusi yang digelar WALHI Papua Barat pada 2023. Menurutnya, tidak ada konsultasi menyeluruh yang melibatkan masyarakat adat sebelum pemberian izin tambang. “Kami tidak pernah menyetujui kehancuran ini,” katanya tegas.
Konflik ini membuka luka lama tentang ketimpangan relasi kuasa antara hukum negara dan hukum adat. Negara, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), memberikan wewenang luas kepada pemerintah untuk menetapkan wilayah pertambangan tanpa persetujuan masyarakat adat secara eksplisit. Meskipun Pasal 22 dan 134 menyebutkan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat, dalam praktiknya, aspek legal pengakuan tersebut bergantung pada pengesahan formal dari pemerintah daerah—sebuah proses yang rumit dan sering tertunda.
“Saat masyarakat adat belum memiliki legalitas formal dari Pemda sebagai subjek hukum yang sah, maka secara hukum negara mereka tidak punya standing. Padahal secara sosiologis, mereka telah hidup di sana selama ratusan tahun,” jelas Gustaf Kawer, pengacara hak asasi masyarakat adat Papua.
Kondisi ini diperparah oleh belum maksimalnya implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara. Kendati putusan itu memperkuat posisi masyarakat adat, namun masih banyak pemerintah daerah yang enggan mengakui wilayah adat secara administratif karena berbenturan dengan kepentingan investasi.
Di sisi lain, keberadaan PT Gag Nikel telah menyebabkan degradasi ekologis yang nyata. Menurut laporan WALHI Papua Barat tahun 2024, aktivitas pertambangan di Pulau Gag menyebabkan sedimentasi air laut, rusaknya terumbu karang, serta hilangnya sumber pangan lokal seperti sagu dan hasil hutan. Warga kini harus membeli makanan pokok dari luar pulau, yang secara ekonomi makin menyulitkan mereka.
Konflik juga kian meruncing karena pendekatan keamanan yang dilakukan negara. Beberapa warga yang menolak tambang dilaporkan mengalami intimidasi dari aparat. “Kami hanya ingin hidup tenang di tanah kami sendiri. Kenapa harus dipaksa tunduk pada izin yang tidak pernah kami setujui?” tanya Meliana S., seorang ibu dari Kampung Gag, dengan mata berkaca-kaca.
Kondisi ini mencerminkan sebuah ironi. Di satu sisi, negara menyerukan penghormatan terhadap masyarakat adat. Di sisi lain, negara justru menjadi fasilitator utama korporasi tambang dalam mengeksploitasi wilayah adat. Ketika hukum negara bertabrakan dengan hukum adat, yang menang bukan keadilan, melainkan kekuasaan.
Sebagai jalan keluar, sejumlah akademisi dan organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah untuk merevisi UU Minerba agar memberikan ruang partisipasi yang bermakna bagi masyarakat adat. Mereka juga mendorong percepatan pengakuan wilayah adat oleh pemerintah daerah dan penguatan hukum adat dalam sistem hukum nasional.
“Tanpa pengakuan yang sejati, masyarakat adat akan terus menjadi korban pembangunan yang tidak adil. Ini bukan hanya soal tanah, tapi juga soal martabat,” kata Elvira Rumkorem, peneliti dari Universitas Papua.
Pertanyaan akhirnya kembali kepada negara: Apakah hukum diciptakan untuk melindungi rakyat, atau untuk memuluskan jalan modal? Di Raja Ampat, jawabannya bergantung pada keberanian kita untuk menegakkan keadilan, bukan sekadar prosedur.