Beberapa tahun terakhir, kesadaran akan krisis iklim semakin meningkat. Masyarakat semakin sering mendengar istilah sustainable living, produk ramah lingkungan, hingga gaya hidup hijau. Perusahaan pun berbondong-bondong mengeluarkan produk berlabel “eco-friendly”: mulai dari sedotan stainless, tote bag kain, hingga kosmetik dengan kemasan daur ulang. Seolah-olah, dengan membeli produk-produk ini, kita bisa ikut menyelamatkan bumi.
Namun, pertanyaan mendasarnya: benarkah konsumerisme hijau adalah solusi? Atau jangan-jangan, ia hanya ilusi yang menenangkan hati, sementara masalah utamanya tetap tidak tersentuh?
Fenomena “Hijau” di Pasar Modern
Tidak bisa dipungkiri, tren hijau telah mengubah pasar. Generasi muda, terutama Gen Z, sering disebut sebagai kelompok yang paling peduli pada isu keberlanjutan. Survei Nielsen (2021) menemukan bahwa 73 persen konsumen global bersedia membayar lebih untuk produk ramah lingkungan. Di Indonesia, produk dengan label organik, bebas plastik, atau cruelty-free semakin laris, meski harganya lebih mahal.
Bagi perusahaan, ini adalah peluang emas. Label hijau menjadi strategi pemasaran, bukan hanya nilai moral. Bahkan, banyak merek besar yang melakukan greenwashing: mengklaim ramah lingkungan padahal hanya melakukan perubahan kosmetik, misalnya menambahkan logo daun di kemasan tanpa mengubah proses produksi yang merusak.
Ilusi Perubahan Melalui Belanja
Masalah utama dari konsumerisme hijau adalah fokusnya pada individu. Narasinya sederhana: kalau ingin selamatkan bumi, belilah produk yang tepat. Seolah-olah, krisis iklim bisa diselesaikan lewat pilihan belanja pribadi.
Padahal, krisis iklim bersumber pada sistem produksi energi, transportasi, dan industri berskala besar. Mengganti sedotan plastik dengan sedotan stainless tidak akan banyak berarti jika PLTU batu bara tetap beroperasi, hutan terus ditebang, dan konsumsi energi fosil terus meningkat. Konsumerisme hijau membuat kita merasa “sudah berbuat sesuatu,” padahal yang dilakukan baru di permukaan.
Beban di Pundak Konsumen
Ada hal yang lebih problematis: narasi hijau sering kali melempar tanggung jawab dari perusahaan dan pemerintah ke konsumen. Alih-alih membatasi emisi industri, perusahaan menyuruh konsumen “pilih produk yang tepat.” Alih-alih memperbaiki sistem transportasi publik, pemerintah mendorong masyarakat membeli kendaraan listrik.
Akibatnya, beban moral berada di pundak individu, sementara aktor besar yang sebenarnya punya pengaruh lebih signifikan justru lolos dari tanggung jawab. Konsumen merasa bersalah setiap kali menggunakan plastik sekali pakai, padahal kontribusinya kecil dibanding industri skala global.
Tidak Semua Konsumen Punya Privilege
Konsumerisme hijau juga mengandung bias kelas. Produk ramah lingkungan sering kali jauh lebih mahal: makanan organik, pakaian berbahan daur ulang, atau barang eco-lifestyle lainnya. Hanya kalangan menengah-atas yang bisa konsisten membeli. Sementara masyarakat berpenghasilan rendah, yang sebenarnya memiliki jejak karbon lebih kecil dalam kesehariannya, justru sering diposisikan sebagai “kurang hijau” karena tidak mampu membeli produk-produk tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa penyelesaian krisis iklim tidak bisa hanya mengandalkan pasar. Jika keberlanjutan menjadi komoditas, maka ia hanya akan memperlebar kesenjangan sosial.
Apa yang Sebenarnya Dibutuhkan
Kalau begitu, apa yang sebenarnya dibutuhkan untuk menyelamatkan bumi?
Pertama, perubahan sistemik. Krisis iklim adalah persoalan struktural, bukan hanya gaya hidup. Pemerintah harus mempercepat transisi energi dari fosil ke terbarukan, membatasi deforestasi, dan menegakkan regulasi lingkungan secara ketat. Perusahaan besar harus transparan soal rantai pasok dan komitmen emisinya, bukan sekadar menempelkan label hijau.
Kedua, pergeseran pola pikir. Alih-alih fokus pada “belanja hijau,” kita perlu membicarakan “pengurangan konsumsi.” Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan membeli barang baru, meski ramah lingkungan. Menggunakan barang yang sudah ada lebih lama, memperbaiki daripada membuang, serta berbagi atau menyewa alih-alih memiliki, justru memberi dampak yang lebih signifikan terhadap pengurangan emisi.
Ketiga, aksi kolektif. Konsumen tentu punya peran, tetapi bukan hanya sebagai pembeli. Tekanan publik lewat gerakan sosial, kampanye digital, dan suara politik bisa mendorong perubahan kebijakan yang lebih besar.
Gaya Hidup Hijau yang Realistis
Bukan berarti gaya hidup hijau individu tidak penting sama sekali. Mengurangi sampah, hemat energi, atau memilih transportasi umum tetap bermanfaat, terutama sebagai bagian dari kesadaran kolektif. Namun, kita perlu realistis bahwa aksi ini hanya satu bagian dari solusi. Jika berhenti di level individu, dampaknya terbatas.
Gaya hidup hijau seharusnya tidak menjadi sekadar konsumsi “produk ramah lingkungan.” Justru, esensinya adalah hidup lebih sederhana, efisien, dan sadar akan dampak kita terhadap lingkungan. Dalam konteks ini, bahkan masyarakat berpenghasilan rendah yang terbiasa berhemat energi dan memanfaatkan barang hingga habis bisa dibilang lebih “hijau” dibanding konsumen kaya yang rajin membeli produk eco-lifestyle.
Penutup
Konsumerisme hijau memberi rasa nyaman bahwa kita sedang menyelamatkan bumi. Tetapi jika tidak hati-hati, ia bisa menjadi ilusi yang meninabobokan. Krisis iklim bukan sekadar soal pilihan individu di supermarket, melainkan soal struktur ekonomi dan politik yang jauh lebih besar.
Artinya, solusi tidak bisa berhenti di keranjang belanja. Kita membutuhkan kebijakan tegas, perubahan sistem energi, serta keberanian kolektif untuk menuntut akuntabilitas dari perusahaan dan pemerintah. Tanpa itu semua, “hijau” hanya akan menjadi warna lain dari kapitalisme, bukan jalan keluar dari krisis iklim.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”































































