Bangun pagi-pagi, kerja tanpa henti, multitasking dari pagi sampai malam, lalu tidur dengan pikiran penuh target esok hari—itulah gambaran hustle culture yang selama ini diagung-agungkan. Namun, di tengah tekanan hidup modern, semakin banyak anak muda, khususnya Gen Z, mulai berkata: cukup.
Mereka memilih untuk melambat, untuk tidak selalu produktif, dan untuk hidup dengan ritme yang lebih manusiawi. Inilah yang disebut dengan tren soft living—gaya hidup santai dan penuh kesadaran yang kini makin populer sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya kerja berlebihan.
Soft Living: Bukan Malas, Tapi Lebih Sadar
Mengutip Magdalene (2024), soft living bukan berarti tidak bekerja keras, melainkan menolak glorifikasi kelelahan. Gaya hidup ini mendorong seseorang untuk tetap berkarya, namun dengan pendekatan yang lebih tenang, tidak tergesa-gesa, dan tidak menjadikan kerja sebagai pusat identitas hidup.
Soft living menekankan pentingnya membatasi ekspektasi yang tidak realistis, menjaga kesehatan mental, dan memberi diri sendiri ruang untuk pulih. Hal ini menjadi semacam ‘perlawanan diam’ terhadap dunia yang mengukur nilai manusia hanya dari kesibukannya.
Hustle Culture dan Tekanan Sosial yang Tak Terlihat
Dalam artikel Harian Disway (2024), dijelaskan bahwa hustle culture selama ini membuat banyak orang merasa harus terus bergerak agar dianggap berhasil. Seseorang yang mengambil waktu untuk beristirahat sering kali dicap “tidak ambisius” atau “kurang produktif.”
Tekanan ini bahkan menyusup ke kehidupan pribadi—merasa bersalah saat libur, gelisah jika tidak ‘berprogres’, dan mengukur harga diri dari seberapa banyak yang dikerjakan. Dalam jangka panjang, ini memicu burnout, rasa kehilangan arah, dan krisis identitas.
Soft living hadir sebagai jawaban atas keresahan ini. Gen Z mulai berani mengatakan bahwa istirahat bukan kelemahan, dan kebahagiaan bukan berarti sibuk setiap waktu.
Dilema Ekonomi: Ingin Santai, Tapi Takut Miskin
Namun tentu saja, soft living bukan tanpa tantangan. Seperti disorot oleh 5News (2024), banyak generasi muda yang terjebak dalam dilema: ingin hidup lebih pelan, tapi tetap dibayangi ketidakpastian finansial dan tekanan ekonomi. Mereka sadar pentingnya self-care, namun juga tidak bisa lepas dari realita “kalau tidak kerja keras, siapa yang akan membiayai hidup?”
Di sinilah pentingnya menemukan keseimbangan. Soft living tidak berarti pasrah atau anti kerja keras, melainkan menyadari batas, menjaga ritme, dan bekerja sesuai kapasitas diri. Bukan soal menjadi ‘santai’, tapi tentang tidak membiarkan ambisi merusak tubuh dan pikiran sendiri.
Kesimpulan
Tren soft living menunjukkan bahwa semakin banyak orang yang mulai sadar: hidup bukan perlombaan. Meskipun pekerjaan dan pencapaian tetap penting, namun tidak ada hasil yang layak dikejar sampai mengorbankan kesehatan mental dan emosional. Di tengah dunia yang sibuk dan bising, memilih hidup yang tenang, seimbang, dan sadar menjadi bentuk keberanian baru. Hari ini, mungkin kita tak perlu jadi yang tercepat atau tersibuk. Cukup jadi versi terbaik dari diri sendiri—yang tahu kapan berlari, kapan melambat, dan kapan berhenti sejenak untuk sekadar… bernapas.
Penulis: Enjelin Amanda Dewi
Sumber gambar: canva.com