
Penyanyi dan penulis lagu Lucyana menyuarakan kegelisahannya tentang tren musik berbasis AI yang makin marak. Baginya, musik bukan sekadar algoritma,melainkan cerminan emosi manusia.
Di tengah gelombang revolusi teknologi yang melanda dunia musik, satu hal yang kini ramai diperbincangkan adalah kehadiran Artificial Intelligence (AI) dalam proses penciptaan lagu. Banyak yang memuji efisiensi dan kecepatan produksi lagu dengan AI, namun tak sedikit pula yang mempertanyakan sisi seninya. Salah satu yang turut bersuara adalah Lucyana, penyanyi dan penulis lagu Indonesia yang dikenal lewat karya-karya orisinal serta komitmennya dalam perlindungan hak cipta.
“Musik yang dibuat AI mungkin bisa meniru gaya, nada, bahkan emosi secara teknis. Tapi buat saya, musik yang menyentuh hati itu lahir dari pengalaman manusia, dari luka, harapan, cinta, dan perjuangan,” ujar Lucyana.
Lucyana, tidak menolak kehadiran teknologi. Namun, ia menegaskan pentingnya batas yang jelas antara alat bantu dan pengganti proses kreatif. Ia menyayangkan tren yang justru mengedepankan kecepatan dan viralitas semu, alih-alih nilai dan pesan dalam sebuah karya musik.
“AI bisa bikin lagu dalam hitungan detik. Tapi apakah lagu itu punya makna? Apakah ia punya jejak rasa? Musik adalah bahasa hati, bukan kode program. Ketika kita mulai menyerahkan sepenuhnya pada mesin, kita kehilangan jati diri sebagai seniman,” tegasnya.
Lebih lanjut, Lucyana melihat fenomena ini bukan hanya soal kreativitas, tetapi juga tentang masa depan industri musik. Ia khawatir jika musik AI terus didorong tanpa batasan yang sehat, para musisi muda akan merasa tidak lagi perlu berproses secara jujur dan organik.
“Jangan sampai generasi baru berpikir bahwa menjadi musisi cukup dengan klik dan generate. Kita perlu kembali mengajarkan bahwa proses berkarya itu butuh rasa, latihan, kegagalan, dan pertumbuhan.”
Meski begitu, Lucyana tetap membuka diri terhadap perkembangan zaman. Ia percaya bahwa AI bisa dimanfaatkan sebagai alat bantu, misalnya untuk mengatur aransemen, referensi suara, atau eksplorasi gaya musik. Tapi, ujarnya, inti penciptaan tetap harus berasal dari manusia.
Sebagai penutup, Lucyana menyampaikan harapannya kepada para musisi, pendengar, dan pelaku industri:
“Jangan biarkan musik kehilangan jiwanya. Dunia tidak butuh lebih banyak konten cepat saji. Dunia butuh musik yang bisa mengubah hati, menyentuh jiwa, dan memberi harapan. Itu hanya bisa lahir dari manusia.”