Di tengah dunia yang bergerak begitu cepat, manusia sering kali terjebak dalam hiruk-pikuk pencapaian. Kita berlomba-lomba menjadi versi terbaik diri sendiri, namun terkadang lupa bahwa tidak semua orang mampu berjalan dengan kecepatan yang sama. Ada mereka yang tersandung oleh kata-kata tajam, oleh ejekan yang dibungkus tawa, atau oleh diam yang mengucilkan. Luka semacam itu tidak selalu tampak di permukaan, tetapi meninggalkan jejak dalam hati dan pikiran.
Sebagai generasi muda yang tumbuh di tengah arus digital, saya sering melihat bagaimana batas antara dunia nyata dan dunia maya menjadi kabur. Di satu sisi, teknologi memberi ruang untuk berekspresi, berkarya, dan berjejaring. Namun di sisi lain, media sosial juga menghadirkan tekanan yang tak kalah besar. Kita terus membandingkan diri dengan orang lain, merasa tertinggal, merasa tidak cukup menarik, merasa tidak cukup pintar, dan merasa tidak cukup bahagia. Padahal, apa yang kita lihat hanyalah potongan kecil dari kehidupan orang lain yang telah disunting sedemikian rupa.
Di titik inilah kesehatan mental menjadi isu penting. Banyak dari kita belajar menampilkan senyum, meskipun hati sedang runtuh. Kita takut terlihat lemah, takut dianggap berlebihan, atau takut tidak dimengerti. Bahkan, di lingkungan pendidikan, masalah mental health sering kali tidak mendapat ruang untuk dibicarakan. Seseorang yang menarik diri dianggap malas, sedangkan yang terlalu sensitif disebut manja. Padahal, di balik sikap itu, ada perasaan tertekan yang tidak sempat tersampaikan.
Saya pernah melihat teman saya menjadi korban perundungan di sekolah. Semua bermula dari lelucon kecil tentang penampilan. Awalnya tampak sepele, tetapi lama-kelamaan menjadi bahan ejekan setiap hari. Ia mulai enggan berbicara, lebih sering menunduk, dan perlahan kehilangan semangat. Tidak ada yang benar-benar sadar sampai akhirnya ia berhenti datang ke sekolah selama berbulan-bulan. Dari peristiwa itu saya belajar bahwa perundungan tidak selalu berbentuk kekerasan fisik. Ia bisa berupa kata, tatapan, bahkan keheningan yang sengaja diciptakan untuk membuat seseorang merasa tidak berharga.
Masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan menasihati korban agar kuat. Solusinya harus menyentuh akar, yaitu kesadaran kolektif untuk menghentikan budaya meremehkan dan mulai menumbuhkan empati. Sekolah dan kampus seharusnya menjadi tempat di mana setiap individu merasa aman untuk belajar, berekspresi, dan menjadi dirinya sendiri tanpa takut dihakimi.
Pendidikan yang ideal bukan hanya soal nilai atau prestasi akademik. Ia seharusnya juga mengajarkan bagaimana cara menjadi manusia yang memahami orang lain. Empati adalah bentuk kecerdasan yang sering terlupakan. Bayangkan jika setiap siswa, guru, dan teman sebaya mampu mengulurkan tangan ketika seseorang sedang berjuang dalam diam, mungkin tidak ada lagi yang merasa sendirian di tengah keramaian.
Sebagai generasi muda, kita punya peran besar untuk menciptakan perubahan itu. Dimulai dari hal kecil, seperti berhenti menyebarkan komentar jahat, mendengarkan cerita teman tanpa menghakimi, atau sekadar mengingatkan bahwa “tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja.” Kalimat sederhana seperti itu bisa menjadi penguat yang luar biasa bagi seseorang yang sedang berjuang.
Kita juga perlu menghapus stigma bahwa pergi ke psikolog atau konselor adalah tanda kelemahan. Justru itu adalah bentuk keberanian. Mengakui bahwa kita butuh bantuan bukan berarti kita kalah, tapi berarti kita cukup sadar untuk menyembuhkan diri. Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu memperluas akses layanan konseling yang mudah dijangkau, agar setiap siswa bisa mendapatkan pendampingan emosional tanpa rasa takut atau malu.
Saya percaya, dunia yang lebih sehat bukan hanya dunia tanpa kekerasan fisik, tetapi juga dunia yang bebas dari kekerasan batin. Tempat di mana setiap orang bisa tumbuh tanpa harus menyembunyikan kesedihannya. Tempat di mana empati menjadi bahasa sehari-hari, bukan sekadar slogan di poster kampanye.
Kesehatan mental bukan isu individu, melainkan isu kemanusiaan. Karena pada akhirnya, kita semua pernah merasa rapuh. Namun, kerentanan tidak membuat kita lemah. Ia justru mengingatkan bahwa kita manusia yang punya hati, dan hati itu perlu dijaga.
Maka dari itu, marilah kita mulai mendengarkan lebih banyak, berbicara lebih lembut, dan bertindak lebih peduli. Karena satu tindakan kecil yang tulus bisa menjadi cahaya bagi seseorang yang sedang berjalan dalam gelap. Dan di situlah, luka yang tak terlihat perlahan mulai sembuh, serta suara yang dulu terbungkam akhirnya berani didengar.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”































































