Makanan Lokal dan Generasi Emas: Cita-Cita Mulia dengan Proses yang Keliru
Pemerintah menargetkan lahirnya Generasi Emas 2045: sehat, cerdas, dan produktif. Pencegahan stunting dijadikan pintu masuk. Visi ini mulia. Namun, proses yang ditempuh kerap keliru. Pangan lokal diabaikan, sistem budidaya tradisional dilemahkan, sementara budaya setempat tidak selalu diberdayakan. Akibatnya, cita-cita besar sering tak berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan.
Indonesia memiliki mozaik pangan lokal yang luar biasa: ubi, talas, pisang, ikan kecil, rumput laut, kacang-kacangan, hingga daun kelor. Semua itu menyimpan gizi makro dan mikro yang bisa menopang 1.000 hari pertama kehidupan. Bukti klinis menunjukkan, makanan pendamping ASI berbasis bahan lokal mampu memperbaiki status gizi balita. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Pola makan masih didominasi karbohidrat tunggal, cara pengolahan merusak nutrisi, dan produk instan ultra-proses lebih mudah masuk ke meja makan dibandingkan pangan tradisional.
Persoalan serupa muncul dalam sistem budidaya. Ladang beragam, perikanan skala kecil, atau agroforestry terbukti menjaga keragaman pangan sekaligus kelestarian ekologi. Tetapi, sistem ini dipandang usang dan diganti monokultur skala besar yang rentan secara ekonomi maupun lingkungan. Petani dan nelayan kecil akhirnya terjebak dalam lingkaran ketidakpastian, sementara gizi keluarga mereka bergantung pada pangan murah yang miskin nutrisi.
Budaya pangan pun ibarat pedang bermata dua. Tradisi memasak bersama dan berbagi makanan adalah modal sosial yang memperkuat solidaritas. Namun, ada pula praktik yang kontraproduktif, seperti nginang atau pantangan makan berbasis mitos. Intervensi gizi yang tidak sensitif budaya berisiko ditolak masyarakat, sementara yang adaptif dengan resep lokal terbukti lebih diterima.
Di sisi kebijakan, kesenjangan semakin nyata. Program gizi masih bertumpu pada distribusi produk siap saji ketimbang memperkuat pangan lokal. Industri pangan dengan pemasaran agresif menyingkirkan makanan tradisional. Edukasi gizi yang ada pun tidak selalu kontekstual. Akibatnya, masalah gizi bukan lagi soal ketersediaan, tetapi soal rantai nilai: dari panen sampai piring, gizi hilang di sepanjang jalan.
Jika benar-benar ingin mencetak Generasi Emas, koreksi harus dilakukan sekarang. Pangan lokal harus diintegrasikan dalam program nasional; petani dan nelayan kecil perlu dukungan teknis, pasar, dan fasilitas sederhana; edukasi gizi harus berbasis budaya; dan insentif ekonomi untuk konsumsi lokal perlu diperkuat.
Indonesia tidak kekurangan bahan mentah untuk menghasilkan generasi sehat. Yang keliru adalah proses pengelolaannya. Tanpa koreksi serius, cita-cita Generasi Emas 2045 akan berhenti pada slogan indah, sementara anak-anak bangsa tetap terjebak dalam lingkaran gizi buruk.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”