Kadang saya suka mikir, hidup di zaman sekarang tuh kayak dikejar-kejar waktu. Tiap hari ada aja hal baru. Belum seminggu rame soal politik, muncul lagi berita budaya populer atau masalah sosial yang jadi bahan omongan di medsos. Tapi kalau dipikir, sebenarnya tiga hal itu masyarakat, budaya, dan politik nggak pernah benar-benar terpisah. Mereka kayak tiga sisi dari satu kehidupan yang sama. Begitu satu gerak, yang lain ikut goyah juga.
Sebagai manusia, kita lahir dan tumbuh di tengah masyarakat. Kita belajar dari orang lain, niru kebiasaan, dan akhirnya terbentuklah pola hidup bersama yang kita sebut budaya. Banyak orang masih mikir budaya itu cuma soal tarian daerah, baju adat, atau makanan khas. Padahal nggak sesempit itu. Budaya juga ada di hal-hal kecil yang kita lakuin tiap hari cara ngomong sama orang yang lebih tua, cara bantu tetangga, atau kebiasaan gotong royong yang udah nempel banget di diri orang Indonesia. Kadang kita nggak sadar, tapi di situlah budaya tumbuh.
Nah, di tengah masyarakat yang penuh kebiasaan itu, mau nggak mau ada politik juga. Banyak yang nganggep politik itu urusan orang kantor pemerintahan, partai, atau pemilu. Padahal politik bisa sekecil ngatur keputusan bareng di kelompok kelas. Misalnya, siapa yang paling sering didengar pas rapat kelompok, itu udah termasuk bentuk kecil dari politik. Jadi, politik tuh bukan cuma soal jabatan, tapi soal cara manusia ngatur hubungan kekuasaan di antara mereka.
Yang menarik, budaya dan politik ini saling nyambung banget. Budaya bisa ngatur gimana kekuasaan dijalankan. Misalnya, di tempat yang masih kuat adat senioritasnya, suara orang yang lebih tua biasanya lebih didengar. Tapi sekarang, karena masyarakat makin terbuka, anak muda juga mulai punya ruang buat ngomong. Sebaliknya, politik juga bisa ngebentuk budaya. Waktu pemerintah mulai gencar kampanye soal kesetaraan gender atau pendidikan untuk semua, pelan-pelan pola pikir masyarakat pun ikut berubah. Jadi dua hal ini jalan bareng, saling pengaruhin.
Kalau ditarik lebih luas, masyarakat jadi tempat dua hal itu ketemu dan berproses. Di situ budaya dijaga, dan politik dijalankan. Tapi masyarakat juga bisa ngontrol kalau ada yang mulai nggak seimbang. Contohnya, kalau ada kebijakan yang dirasa nggak adil, banyak orang sekarang berani ngomong, apalagi lewat media sosial. Dari sana kadang muncul gerakan baru, bahkan bisa sampai ubah keputusan. Artinya, masyarakat itu bukan cuma penonton, tapi pemain utama juga dalam proses sosial dan politik.
Saya jadi mikir, hubungan antara masyarakat, budaya, dan politik ini kayak rantai yang terus muter. Budaya ngaruh ke masyarakat, masyarakat ngatur arah politik, lalu politik balik lagi ngubah budaya. Nggak ada yang berdiri paling tinggi, karena semuanya saling butuh. Tapi kalau salah satunya terlalu kuat, keseimbangannya bisa hilang. Politik yang terlalu dominan bisa bikin budaya hilang arah. Tapi kalau budaya yang kaku, bisa-bisa malah ngerem perubahan politik yang seharusnya baik.
Di sinilah peran generasi muda penting banget. Sekarang, dengan teknologi dan media sosial, kita bukan cuma penikmat budaya, tapi juga ikut ngebentuknya. Apa yang kita dukung, omongin, dan bagiin di internet bisa banget pengaruhin orang lain, bahkan sampai ke arah kebijakan. Misalnya, waktu banyak anak muda mulai vokal soal isu lingkungan, akhirnya makin banyak pihak yang peduli dan bikin aturan baru soal sampah dan energi. Kadang hal sederhana bisa punya dampak besar, asal nyentuh banyak orang.
Tapi ya, nggak bisa dipungkiri juga kalau teknologi bikin semuanya campur aduk. Budaya, masyarakat, dan politik jadi makin nyatu, tapi juga makin rawan salah paham. Nggak semua yang viral itu benar, dan nggak semua yang rame itu positif. Kadang malah bikin perpecahan, padahal maksud awalnya baik. Makanya penting banget buat kita punya budaya berpikir kritis, biar nggak gampang ikut arus cuma karena tren.
Kalau saya ibaratin, budaya itu fondasi, politik itu sistemnya, dan masyarakat itu bangunannya. Kalau salah satunya retak, yang lain pasti ikut goyah. Politik yang sehat cuma bisa jalan kalau budayanya kuat, dan budaya yang baik cuma bisa tumbuh kalau ada politik yang adil. Di tengah-tengahnya, masyarakat punya tanggung jawab buat ngejaga supaya dua hal itu tetap seimbang dan nggak saling nindas.
Akhirnya, saya sadar, tiga hal ini emang nggak bisa dipisahin. Masyarakat, budaya, dan politik saling ngisi, saling dorong, dan saling hidup bareng. Kadang lewat hal kecil aja udah kelihatan gimana hubungan mereka berjalan dari cara kita ngobrol, ngambil keputusan, sampai gimana kita nanggepin perbedaan. Kalau semuanya bisa dijaga tetap seimbang, mungkin kita bukan cuma punya negara yang tertib, tapi juga kehidupan yang lebih manusiawi dan terbuka. Dan siapa tahu, perubahan besar yang sering kita tunggu-tunggu, justru mulai tumbuh dari hal kecil yang kita lakuin hari ini.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”