Fenomena membeludaknya peserta job fair di Kabupaten Bekasi akhir-akhir ini seharusnya tidak semata-mata dianggap sebagai bentuk antusiasme masyarakat terhadap lapangan kerja, melainkan sebagai sinyal peringatan serius: lebaran di daerah ini masih sangat tinggi dan belum tertangani secara optimal. Di tengah geliat kawasan industri yang seharusnya menjadi magnet penyerapan energi kerja, justru ribuan pencari kerja masih berebut lowongan yang tersedia—sebuah ironi sosial-ekonomi yang mencerminkan adanya ketimpangan struktural.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2025, tingkat kemiskinan terbuka (TPT) di Kabupaten Bekasi mencapai 8,82% dari total angkatan kerja sekitar 1,6 juta jiwa. Ini berarti ada lebih dari 142.000 warga usia produktif yang masih belum mendapatkan pekerjaan. Angka ini memang sedikit menurun dibandingkan tahun sebelumnya, namun tetap menjadi yang tertinggi di Jawa Barat, bahkan menjadi salah satu yang tertinggi secara nasional. Situasi ini tentu memprihatinkan mengingat Kabupaten Bekasi memiliki kawasan industri terbesar se-Asia Tenggara dengan ribuan perusahaan multinasional.
Pemerintah daerah memang telah berupaya menangani persoalan ini melalui pelatihan melalui keterampilan, kewirausahaan, dan kerja sama dengan perusahaan melalui skema MoU agar peserta pelatihan bersertifikat dapat langsung diserap oleh industri. Namun, langkah ini belum sepenuhnya menyentuh akar masalah jika tidak diikuti oleh reformasi kurikulum pendidikan dan sinergi yang kuat antara dunia pendidikan dan dunia usaha.
Mahasiswa Universitas Pelita Bangsa Reza Dwi Kurniawan bahkan menyatakan bahwa pemerintah daerah terlalu lemah dalam mempersiapkan tenaga kerja lokal yang terampil. Ia menekankan pentingnya harmonisasi antara lembaga pendidikan, lembaga pelatihan, dan sektor industri agar pencari kerja dari Bekasi tidak lagi menjadi tamu di kampung halamannya sendiri.
Job fair yang penuh sesak bukan hanya menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap pekerjaan, namun juga menampilkan logika pembangunan ekonomi lokal yang belum mampu memberikan jaminan pekerjaan layak bagi warganya. Ini adalah lampu merah yang seharusnya menyadarkan semua pihak—pemerintah, dunia usaha, institusi pendidikan, dan masyarakat—bahwa masalah lulusan tidak dapat diselesaikan melalui seremonial program dalam waktu dekat. Dibutuhkan strategi jangka panjang, berbasis data, serta komitmen kolektif agar Bekasi bisa keluar dari bayang-bayang kemiskinan yang kronis, dan berdiri sebagai daerah industri yang mensejahterakan penduduk lokalnya.