Akhir-akhir ini, pembahasan tentang lingkungan sering banget berseliweran di media sosial. Banyak orang ngomongin soal tumpukan sampah plastik di sungai dan laut, udara kota yang makin kotor, sampai kebakaran hutan yang bikin langit terlihat gelap karena asap. Sayangnya, perhatian masyarakat baru muncul ketika isu-isu itu lagi viral. Begitu nggak trending lagi, topiknya langsung tenggelam dan semua orang balik ke rutinitas masing-masing seolah nggak ada apa-apa.
Padahal, masalah lingkungan bukan hal sepele. Dampaknya bisa dirasain langsung sama kita, bukan cuma buat alam tapi juga buat kesehatan manusia. Polusi udara bisa memperburuk penyakit pernapasan, hutan yang gundul bikin banjir makin sering, dan sampah plastik di laut bisa merusak kehidupan biota yang jadi sumber makanan kita juga. Ironisnya, hal sepenting ini cuma ramai diperbincangkan waktu lagi viral di dunia maya.
Kalau dipikir-pikir, hal ini terjadi karena kita hidup di zaman yang serba mengikuti tren. Banyak orang lebih sering ngeliat apa yang nongol di FYP atau timeline dibanding berita serius di TV atau koran. Kalau nggak muncul di TikTok, Instagram, atau X (Twitter), banyak yang bahkan nggak tahu kalau lagi ada masalah besar soal lingkungan. Contohnya, pas isu polusi udara di Jakarta viral, semua orang langsung heboh pakai masker N95 dan bahas soal AQI (Air Quality Index). Tapi beberapa hari kemudian, topik itu hilang begitu aja, padahal kondisi udaranya nggak berubah banyak.
Viralnya sebuah isu kadang seperti “pengingat massal”. Orang baru sadar ada masalah setelah ramai dibicarakan di media sosial. Padahal, kerusakan lingkungan nggak datang tiba-tiba, tapi akibat kebiasaan buruk manusia yang dilakukan terus-menerus. Parahnya lagi, tingkat kepedulian orang sekarang sering bergantung pada seberapa banyak likes atau komentar yang didapat dari postingan tentang isu itu.
Sebetulnya, media sosial punya potensi besar buat bantu meningkatkan kesadaran lingkungan. Misalnya, waktu pencemaran sungai di Jawa Barat ramai dibahas, pemerintah akhirnya turun tangan karena tekanan dari warganet. Ini bukti kalau suara publik bisa ngaruh besar. Tapi sayangnya, sisi lain dari media sosial juga ada: semua hal harus dikemas menarik biar algoritmanya naik. Kadang bukan seberapa serius masalahnya yang bikin orang tertarik, tapi seberapa dramatis isi videonya. Akibatnya, isu penting kayak perubahan iklim sering kalah sama video lucu atau gosip artis yang lebih “menghibur”.
Masalah lain muncul dari kurangnya rasa empati. Banyak orang merasa isu lingkungan itu jauh dari hidup mereka. Misalnya, pas kebakaran hutan di Kalimantan terjadi, orang di kota besar kayak Jakarta atau Surabaya mikir “itu kan jauh, nggak ngaruh ke sini.” Tapi begitu banjir datang ke kota mereka, baru deh panik. Dalam psikologi, hal ini disebut psychological distance rasa acuh karena masalah terasa jauh dari diri sendiri. Padahal, udara, air, dan iklim itu saling terhubung. Kalau satu rusak, semuanya bisa kena dampaknya.
Selain masyarakat, pemerintah dan media juga punya peran besar. Banyak kebijakan lingkungan baru benar-benar dibahas setelah viral di media sosial atau ramai diperbincangkan publik. Ini nunjukin kalau kebijakan kita masih cenderung reaktif, bukan pencegahan. Pemerintah sering bergerak karena tekanan, bukan karena kesadaran. Media juga sering lebih fokus ke berita yang bisa menarik klik ketimbang berita yang mendidik. Akhirnya, topik penting seperti pencemaran laut kalah populer sama berita selebriti.
Tapi di sisi lain, masyarakat Indonesia sebenarnya punya rasa empati tinggi. Misalnya, waktu video penyu makan plastik viral, banyak orang langsung beralih ke sedotan stainless dan mulai bawa tumbler. Tapi sayangnya, semangat itu jarang bertahan lama. Setelah beberapa minggu, tumbler-nya malah disimpan dan lupa dibawa. Ini disebut outrage fatigue, yaitu kelelahan karena terlalu sering lihat berita serius sampai akhirnya bosan dan cuek lagi.
Masalahnya juga ada di sistem pendidikan. Pelajaran tentang lingkungan di sekolah biasanya cuma teori tentang polusi, daur ulang, atau pelestarian alam tapi jarang banget ada kegiatan langsung yang bikin siswa sadar pentingnya menjaga alam. Kalau sejak kecil kita dibiasakan untuk peduli, pasti kesadaran itu bisa terbawa sampai dewasa.
Selain itu, fasilitas untuk hidup ramah lingkungan juga belum banyak. Tempat daur ulang susah ditemukan, barang ramah lingkungan masih mahal, dan transportasi umum belum nyaman. Akhirnya banyak orang yang sebenarnya mau untuk berubah tapi nggak tahu harus mulai dari mana.
Walau begitu, bukan berarti nggak ada harapan. Perubahan besar selalu dimulai dari hal kecil. Kita nggak perlu nunggu isu lingkungan jadi viral buat peduli. Mulai aja dari kebiasaan sederhana seperti, buang sampah pada tempatnya, hemat listrik, naik kendaraan umum, atau bawa kantong belanja sendiri. Kalau semua orang melakukannya secara rutin, efeknya bisa luar biasa buat bumi.
Kita juga harus belajar buat tetap peduli meskipun isu lingkungan nggak lagi ramai dibahas. Kalau kepedulian kita cuma muncul pas lagi viral, artinya kita belum sungguh-sungguh paham betapa pentingnya menjaga bumi. Karena bumi ini bukan cuma tempat tinggal sementara, tapi satu-satunya rumah yang kita punya. Kalau rusak, nggak ada tempat lain buat ditinggali.
Viral seharusnya jadi alat, bukan tujuan. Isu lingkungan boleh aja jadi topik trending, tapi alasan kita peduli harusnya karena rasa tanggung jawab, bukan karena takut ketinggalan tren. Bayangin kalau semua orang punya kesadaran yang sama tanpa harus nunggu viral dulu, mungkin perubahan besar buat bumi bisa datang lebih cepat.
Pada akhirnya, bumi nggak butuh kita buat menjadikannya terkenal di media sosial. Yang dibutuhkan cuma manusia yang benar-benar peduli dan mau benaran lakuin, bahkan ketika nggak ada yang lihat.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”