Bekasi, STIT Al-Marhalah Al ‘Ulya – Mentari tak hanya menyinari ruang kelas di STIT Al-Marhalah Al ‘Ulya Bekasi pagi itu, tetapi juga menggugah nalar-nalar muda untuk menyambut dunia baru—dunia digital akademik yang menuntut lebih dari sekadar hafalan dan makalah konvensional.
Di balik tembok sederhana kampus, sedang digelar peristiwa yang bisa mengubah cara berpikir mahasiswa selamanya: workshop literasi digital ilmiah bertema “Pemanfaatan Manager Reference (Mendeley dan Publish or Perish) dalam Meningkatkan Penulisan Karya Ilmiah.”
Acara yang berlangsung Sabtu (26/7/2025) ini adalah bukti bahwa institusi pendidikan kecil pun bisa melahirkan perubahan besar.
Diinisiasi sebagai luaran dari mata kuliah Metodologi Penelitian, workshop ini tak hanya menawarkan pelatihan teknis, tetapi juga menggeser paradigma—bahwa karya ilmiah tidak harus menunggu kelulusan, ia bisa (dan seharusnya) hidup sejak di bangku kuliah.

“Teknologi bukan lagi pelengkap,” ujar Ahmad Zamakhsari, Ketua Prodi PAI, dalam sambutannya yang disampaikan dengan nada penuh kesadaran zaman.
Pernyataan itu bukan sekadar retorika. Di hadapan laptop-laptop yang menyala dan wajah-wajah yang semula cemas, teknologi ditampilkan sebagai alat pembebas: dari belenggu kebingungan sitasi, dari rasa takut terhadap plagiarisme, dari keterasingan terhadap dunia jurnal ilmiah internasional.
Di sisi lain, dosen pengampu Metodologi Penelitian, Eva Dwi berbicara tanpa menggurui. Ia menghidupkan harapan.
“Kita tak ingin mahasiswa hanya paham metode penelitian di atas kertas. Kita ingin mereka bisa menulis dan memublikasikan. Dunia luar menunggu karya mereka,” tuturnya penuh tekad.
Workshop ini bukan sekadar praktik menyalakan aplikasi dan mengatur folder. Ia adalah momentum perjumpaan—antara tradisi akademik pesantren dan tuntutan ilmiah global.
Mahasiswa PAI yang dulunya akrab dengan kitab kuning, kini juga harus lincah menavigasi Google Scholar, Scopus, dan indeks sitasi lainnya.
Wathroh Mursyidi yang turut menjadi narasumber, menyambung semangat itu dengan nada yang lebih menggugah hati.
“Menulis artikel dan memublikasikannya bukan pilihan tambahan. Itu adalah identitas baru intelektual. Jika kalian ingin eksis dalam dunia keilmuan, itu jalannya,” katanya, menancapkan kesadaran mendalam.
Selama sesi berlangsung, terlihat perubahan nyata. Mahasiswa yang semula menunduk kikuk, kini berdiskusi aktif. Ada yang tersenyum lega saat menemukan fitur cite as di Mendeley. Ada pula yang kagum saat melihat seberapa sering jurnal tertentu dikutip, membuka mata tentang dinamika akademik yang selama ini tersembunyi.
Momen itu seperti jendela yang dibuka. Dunia luar terlihat jelas, dan para mahasiswa perlahan tahu ke mana arah harus dituju.
Saat jam menunjukkan tengah hari dan ruangan kembali sunyi, tidak ada yang benar-benar berakhir. Sebab yang lahir bukan hanya keterampilan, tetapi semangat baru. Mahasiswa PAI kini tak lagi hanya menulis untuk memenuhi tugas akhir.