Bangsa ini sedang tidak baik-baik saja. Gelombang protes tak terbendung di berbagai penjuru negeri telah menelan korban, terenggutnya nyawa beberapa pejuang kebenaran menimbulkan isak tangis dan memunculkan luka mendalam.
Terekam jelas kobaran api meletup di mana-mana, tersisa hanyalah puing-puing harapan, akankah masa depan bangsa ini masih dapat terus diperjuangkan di tengah terpaan isu-isu negatif yang berseliweran di jagad maya. Apakah pernyataan orang nomor satu di negeri ini pun masih dapat dipercaya, bahwa kita akan memiliki masa depan yang cerah?
Mengurai Akar Masalah Dari Fenomena Sosial
Kiranya terdapat persepsi sejak dahulu, bahwa guru atau praktisi pendidikan, acapkali membenci orang yang dianggap bodoh, tidak suka mengenyam bangku sekolah, lebih sering berada di jalanan, menyukai kebebasan atau mereka mengistilahkannya sebagai pembangkang.
Faktanya, seringkali dijumpai antitesis dari anggapan tersebut, tidak sedikit pejabat publik terpilih berawal menapaki karir dari sektor informal, terbaru eks driver ojol dapat menduduki kursi penting di pucuk pimpinan birokrasi pemerintahan, walau di akhir cerita cukup ironis sebab hal tercokok lebaga anti rasuah. Ya, apa pun bisa terjadi di negeri ini.
Sementara itu, pejabat acapkali membenci orang dari kalangan rakyat kecil, tidak berdaya, dan itu berlaku pula sebaliknya. Pada akhirnya, mereka saling membenci dari sejak zaman renaisance hingga post modern, bersinggungan dengan proses pengambilan kebijakan (decision making process) yang dilahirkan. Sehingga sistem sosial dan ketatanegaraan menjadi kacau atau chaos, memicu amarah publik.
Dewasa ini, diketahui seorang pejabat mengata-ngatai, mengolok-olok kalangan kecil (yang memilihnya) dengan bunyi-bunyian tidak enak dicerna oleh telinga, terkesan nir-etika. Ada pula seorang tengah menduduki jabatan sebagai menteri yang menuduh praktisi pendidikan dengan sebutan beban negara, walaupun setelah diklarifikasi, hanyalah cuplikan hasil rekayasa kecerdasan buatan semata. Namun jika ditelisik, nyatanya pendapatan mereka yang tak seberapa hanya cukup untuk memenuhi isi perut, alih-alih melakukan flexing di medsos.
Ini hanyalah persoalan sistem dan pola pikir semata, dari kecil kita dibentuk menjadi pribadi atau individu-individu yang tertib, patuh dan taat regulasi, mereka dicetak menjadi tak ubahnya seperti robot-robot pekerja di berbagai institusi dan industri, tidak ada inovasi, daya kreasi maupun cara-cara baru diantara mereka, mereka hanya melakukan sesuai template di atas nilai-nilai format kebakuan yang telah ada dan disediakan.
Para penemu pembangun peradaban adalah orang-orang dengan pemikiran out of the box, bahasa lainnya di luar kebiasaan. Seperti contohnya, Albert Einstein, saking dikiranya aneh akan pemikiran-pemikirannya, sepeninggal Ia di dunia, sampai-sampai otaknya dicuri untuk keperluan penelitian lanjutan oleh para oknum yang menyebut mereka sebagai kelompok ilmuwan.
Komparasi Konstruktif Untuk Perubahan Peradaban yang Berkeadaban
Dalam konteks lebih luas, pada lingkup regional wilayah, katakanlah China, yang dulunya identik dengan kemiskinan dan ketertinggalan, melakukan lompatan besar, berhasil bertransformasi menjadi negara yang unggul sejajar dengan Amerika Serikat, sang adidaya, karena sukses menciptakan pola pembibitan generasi yang bagus, pemetaan potensi dilakukan sesuai pada keahlian masing-masing. Alhasil mereka mampu berbicara banyak di berbagai kancah global.
Setali riga uang dengan negeri samurai Jepang, kendatipun sering diguncang bencana, dengan kondisi alam yang tidak menguntungkan, namun mereka dapat cepat tanggap menanggulanginya, sebab memiliki daya resilience juga ketangguhan sumber daya yang apik.
Lantas, bagaimana implementasi dari ungkapan “berbenah” yang akhir-akhir ini sering didengungkan itu? Karena pada dasarnya, peradaban manusia lebih bersifat dinamis, tidaklah statis, perubahan-perubahan akan selalu ada, entah perubahan menjadi lebih baik, atau malah menuju kegelapan. Tuntutan rakyat akan perubahan jangka pendek dan jangka panjang telah diakomodir, tugas kita adalah mengawal segala proses tersebut, demi masa depan bersama yang lebih cerah sekaligus bermakna.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”































































