Pilar utama pembangunan berkelanjutan di abad ke-21 adalah kemandirian energi, yaitu kemampuan kota dan wilayah untuk memenuhi kebutuhan energinya secara mandiri melalui sumber terbarukan dan sistem yang efisien. Di dunia yang menghadapi cadangan minyak yang menipis, pasar global yang fluktuatif, dan meningkatnya permintaan energi di perkotaan, upaya mencapai kemandirian energi menjadi kebutuhan baik dari sisi lingkungan maupun geopolitik. Tulisan ini mengeksplorasi bagaimana kota-kota dapat mencapai kemandirian energi yang nyata melalui pendekatan berbasis bukti dan adaptif secara lokal yang berakar pada inovasi energi terbarukan dan efisiensi perkotaan, selaras dengan SDG 7, SDG 11, dan SDG 13.
Menurut UN-Habitat (2020), wilayah perkotaan mengonsumsi lebih dari 70% energi dunia dan menghasilkan lebih dari 60% emisi gas rumah kaca global. Di Indonesia, sektor energi masih didominasi oleh bahan bakar fosil dan kompleksitas politik. Reformasi di bawah Presiden Joko Widodo, seperti pengurangan subsidi bahan bakar, berhasil menghemat negara lebih dari USD 15 miliar namun menghadapi resistensi institusional. Di bawah Presiden Prabowo, fokus pada kemandirian energi diperbarui, dengan menekankan sumber daya domestik seperti panas bumi, bioenergi, dan batu bara.
Namun, ambisi ini terhambat oleh fragmentasi kebijakan. Pembubaran kementerian koordinasi melemahkan tata kelola. Meskipun Indonesia menandatangani Just Energy Transition Partnership (JETP), Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024 beralih dari penghentian bertahap batu bara menuju retrofit pembangkit. Tanpa peta jalan yang terpadu, target net-zero dan diversifikasi energi Indonesia tetap tidak pasti.
Ketergantungan berat pada bahan bakar impor, yang mencapai IDR 396 triliun pada 2023, memberi tekanan pada cadangan devisa. Biofuel berbasis kelapa sawit, meskipun dipromosikan sebagai solusi, masih lebih mahal daripada solar sehingga membutuhkan subsidi besar. Selain itu, kurang dari 5% subsidi ini sampai ke petani kecil, menimbulkan kekhawatiran tentang keadilan dan keberlanjutan. Reformasi subsidi bahan bakar terhambat oleh data sasaran yang tidak konsisten (DTKS, P3KE, Regsosek), birokrasi yang terkotak-kotak, dan sensitivitas politik. Meskipun ada upaya digitalisasi, koordinasi antar-kementerian masih lemah. Hanya dengan keselarasan tata kelola, reformasi fiskal, dan sistem data terpadu, Indonesia dapat maju menuju kemandirian energi.
Di tengah tantangan ini, inovasi lokal menawarkan harapan. Contoh-contoh ini menjembatani solusi energi pedesaan dan perkotaan, memberikan pandangan holistik tentang bagaimana Indonesia dapat bergerak maju. Meskipun fokus kebijakan sering berada di perkotaan, penting untuk belajar dari komunitas pedesaan yang telah berhasil mencapai kemandirian energi. Desa seperti Kamanggih menunjukkan bagaimana inovasi lokal dan kepemilikan komunitas memberikan pelajaran berharga. Dengan mengadaptasi prinsip pedesaan (desentralisasi), partisipasi dan efisiensi lokal di kota dapat membangun sistem energi yang lebih tangguh.
Di Desa Kamanggih, Sumba Timur, pembangkit listrik mikro-hidro 37 kW yang dibangun pada 2011 kini memasok listrik untuk lebih dari 350 rumah, klinik, dan sekolah. Dikelola oleh koperasi lokal, desa ini telah mengadopsi biodigester, pompa air tenaga surya, dan turbin angin (95 kW dan 65 kW), yang semuanya terintegrasi dalam jaringan listrik mikro. Perubahan ini mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengolahan kacang mete, memasak bersih, dan pertanian organik, menunjukkan bahwa wilayah pedesaan dapat mencapai kedaulatan energi melalui kepemilikan lokal.
Salah satu inovasi kunci adalah penggunaan biogas dari kotoran babi, yang mengurangi ketergantungan pada kayu bakar dan mendukung energi yang lebih bersih. Koperasi Peduli Kasih, yang didirikan pada 1999, mengelola sumber energi terbarukan ini, membentuk model ekonomi hijau berbasis komunitas. Penelitian BPS dan BRIN mengidentifikasi tiga faktor keberhasilan: kepemimpinan lokal yang kuat, organisasi partisipatif, dan pembangunan berbasis kebutuhan, seperti mengatasi kekurangan air. PLTMH Kamanggih menjadi contoh elektrifikasi pedesaan terdistribusi yang meningkatkan produktivitas melalui akses yang stabil.
Meski demikian, tantangan struktural tetap ada. Koperasi tidak memiliki akses langsung ke dana desa karena regulasi saat ini. Kapasitas sumber daya manusia juga terbatas, karena sebagian besar warga hanya menyelesaikan pendidikan menengah atas. Hal ini menekankan perlunya pelatihan vokasional yang sesuai dengan kebutuhan energi lokal.
Di Kota Tomohon, Sulawesi Utara, pengembangan panas bumi menunjukkan kemajuan energi terbarukan berskala perkotaan. Terletak di Kawasan Kerja Panas Bumi (WKP) Lahendong, proyek ini awalnya mengalirkan uap dari sumur melalui pipa untuk memutar turbin dan menghasilkan listrik. Menurut Pertamina Geothermal Energy (PGE), Lahendong kini menjadi pembangkit energi bersih berbasis panas bumi terbesar di Tomohon, menyumbang 120 MW, atau 30% kebutuhan listrik di Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo. PGE berencana menambah 50 MW melalui Unit 7 dan 8 pada 2027, meningkatkan kontribusi menjadi 35–40%.
Selain pembangkitan listrik, proyek ini juga mendukung industri lokal. Di pabrik gula aren, uap panas bumi digunakan langsung untuk pengeringan, meningkatkan efisiensi dan memungkinkan produksi harian hingga satu ton gula aren. Produk ini diekspor ke Jepang, Singapura, Hong Kong, dan Amerika Serikat. Inisiatif ini mencerminkan komitmen PGE terhadap Corporate Social Responsibility dan menawarkan model yang dapat direplikasi untuk industri bersih.
Untuk menginstitusionalisasi terobosan semacam ini, dibutuhkan pembentukan Energy Resilience Cells (ERCs) di pemerintah kota. Unit ini akan:
1. Melakukan audit energi dan penilaian kerentanan
2. Menerapkan pilot energi terbarukan yang terdesentralisasi
3. Berkoordinasi secara erat dengan utilitas dan kementerian terkait
4. Memantau SDG 7 dan 13 melalui dashboard terbuka
5. Menyelaraskan perencanaan energi dengan anggaran daerah (RPJMD)
Dengan menggabungkan pengetahuan lokal dengan wawasan teknis dan ekonomi, ERC dapat menjadi landasan transisi energi berbasis bottom-up di Indonesia dan berfungsi sebagai model tata kelola modular untuk sistem desentralisasi yang tangguh di kota-kota Global South.
Tulisan ini mengusulkan lima rekomendasi utama: memprioritaskan infrastruktur energi terbarukan di berbagai wilayah; memberdayakan LSM sebagai fasilitator; menyesuaikan regulasi agar dana desa lebih fleksibel; memperkuat pemerintah lokal dalam mengoordinasikan pemangku kepentingan; dan mendukung kelompok pemelihara berbasis komunitas. Dengan potensi energi terbarukan lebih dari 3.700 GW, termasuk angin, surya, panas bumi, biomassa, laut, dan mikro-hidro, Indonesia memiliki peran strategis dalam masa depan energi bersih global.
Visi kedaulatan energi Indonesia tidak bisa hanya bergantung pada retorika. Tanpa tata kelola yang koheren, penyesuaian fiskal, kepemimpinan yang terkoordinasi, dan inovasi lokal, ambisi kedaulatan energi akan terhenti. Kota dan desa harus menjadi penggerak utama transformasi melalui inisiatif yang kolaboratif, inklusif, dan berbasis komunitas. Desa Kamanggih dan Kota Tomohon menjadi bukti bahwa kemandirian energi bisa dimulai di mana saja. Saatnya kota-kota lain bangkit secara berani, lokal, dan tegas.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”





































































