Mobil Listrik Solusi Baru atau Ancaman Baru
Grafik penjualan mobil listrik di Indonesia melesat seperti roket. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) mencatat 23.900 unit terjual hanya dalam empat bulan pertama 2025—naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya! Kementerian Perindustrian pun mengumumkan pertumbuhan fantastis: populasi mobil listrik meroket 78% di 2024, mencapai 207 ribu unit. Angka-angka gemilang ini sering dianggap bukti sukses transisi menuju transportasi ramah lingkungan.
Padahal, gagasan mobil listrik sendiri bukan hal baru; sudah mengemuka sejak krisis energi 1970-an seiring kesadaran akan bahaya emisi, meski sempat tenggelam oleh mesin konvensional. Klaim “bebas emisi” saat berkendara pun jadi magnet utama. Tapi di balik optimisme itu, tersimpan pertanyaan mendasar: apakah lonjakan penjualan benar-benar mencerminkan solusi berkelanjutan, atau justru mengabaikan masalah lain yang lebih pelik?
Pertumbuhan pesat itu tak lantas berarti Indonesia siap menghadapi tantangan mobil listrik secara menyeluruh. Ketimpangan infrastruktur jadi batu sandungan terbesar, terutama di daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T). Di luar kota besar, Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) masih bisa dihitung jari. Lebih mendasar, jaringan listrik nasional kita masih bermasalah. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan rugi-rugi listrik mencapai 9,37% (2023)—jauh di atas standar internasional yang ideal di bawah 7%. Fluktuasi daya yang terjadi berisiko merusak sistem pengisian mobil listrik.
Selain itu, ketersediaan bengkel khusus, suku cadang, dan mekanik bersertifikat masih minim, terutama di luar Jawa-Bali. Biaya perawatan pun bisa membengkak, sehingga bukan solusi yang mudah dijangkau dan justru bisa memperlebar jurang kesenjangan antar daerah.
Di sisi lain, klaim ramah lingkungan mobil listrik juga patut dikritisi. Proses produksi baterainya menyimpan ironi pahit. Penambangan nikel, kobalt, dan litium—sering berlangsung di Indonesia—berisiko menyebabkan kerusakan hutan dan pencemaran air oleh limbah tambang. Limbah asam yang mengandung logam berat mengancam ekosistem laut krusial seperti Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle).
Persoalan lain muncul saat baterai tak lagi dipakai. Teknologi daur ulang baterai litium-ion yang efisien dan ekonomis masih dalam tahap awal. Hanya kobalt yang memiliki nilai daur ulang tinggi, sementara litium, mangan, dan sebagian besar nikel berpotensi menjadi limbah beracun dalam skala besar. Polusi bukan hilang, melainkan berpindah dari knalpot kendaraan di kota menuju lokasi penambangan dan pembuangan akhir.
Di kota-kota macet seperti Jakarta, kehadiran mobil listrik bukan obat mujarab. Meski emisi lokal berkurang, volume kendaraan tetap membludak. Kemacetan kronis hanya bisa diatasi dengan transportasi publik yang andal dan kebijakan pengurangan ketergantungan pada kendaraan pribadi.
Harga mobil listrik yang masih tinggi menjadi penghalang nyata bagi masyarakat menengah ke bawah. Subsidi pemerintah perlu lebih tepat sasaran dan berkelanjutan. Pengembangan motor listrik terjangkau seharusnya jadi prioritas utama untuk pemerataan akses.
Kesiapan sumber daya manusia juga kerap terabaikan. Minimnya pemahaman publik tentang perawatan baterai dan penanganan darurat, seperti kebakaran baterai, berpotensi memicu masalah serius. Kelangkaan teknisi terlatik untuk kendaraan listrik meningkatkan risiko kesalahan perbaikan yang bisa berakibat fatal. Oleh karena itu, edukasi publik dan pelatihan teknisi massal adalah keharusan mutlak.
Lonjakan penjualan mobil listrik patut diapresiasi, tapi jangan sampai membuat kita lengah. Agar benar-benar menjadi solusi berkelanjutan, Indonesia perlu:
- Perbaiki Fondasi Terlebih Dahulu: Membangun SPKLU yang merata dan memperkuat jaringan listrik nasional hingga ke daerah 3T. Sediakan ekosistem pendukung lengkap, termasuk bengkel dan suku cadang di seluruh Indonesia.
- Pastikan Rantai Pasok Bertanggung Jawab: Terapkan standar lingkungan ketat dalam aktivitas pertambangan serta kembangkan sistem daur ulang baterai berteknologi tinggi untuk meminimalkan limbah beracun.
- Utamakan Solusi Holistik: Fokus pada penguatan transportasi massal dan kebijakan harga yang terjangkau, termasuk percepatan pengembangan motor listrik rakyat.
- Siapkan SDM dan Edukasi Masyarakat: Gelar pelatihan massal untuk teknisi EV dan kampanye keselamatan berkendara listrik yang menyeluruh.
Tanpa langkah fundamental ini, mobil listrik berisiko menjadi sekadar pemindah beban lingkungan dan pembuka jurang ketimpangan baru. Momentum positif saat ini harus dimanfaatkan untuk membangun sistem yang berkelanjutan dan adil. Hanya dengan komitmen menyeluruh, mobil listrik bisa benar-benar menjadi solusi hijau bagi Indonesia, bukan sekadar tren sesaat.