RUU Perampasan Aset merupakan salah satu tonggak penting yang dapat menegaskan arah bangsa ini dalam perang melawan kejahatan luar biasa—korupsi, pencucian uang, dan tindak pidana ekonomi lainnya. Namun hingga kini, rancangan undang-undang tersebut seolah tersandera oleh tarik-menarik kepentingan politik di Senayan. Sementara itu, negara terus kehilangan triliunan rupiah akibat aset hasil kejahatan yang tidak dapat dijangkau hukum.
Dalam prinsip negara hukum, keadilan tidak boleh menunggu. Konstitusi menempatkan hukum sebagai panglima, bukan alat kompromi kekuasaan. Namun ketika hukum tidak bergerak karena politik menunda, keadilan pun menjadi korban yang paling sepi pembela. Penundaan pengesahan RUU Perampasan Aset bukan sekadar soal prosedur legislasi, tetapi juga mencerminkan krisis moral dalam penegakan hukum kita.
RUU ini sebenarnya dirancang bukan untuk menghukum tanpa pengadilan, melainkan untuk mengembalikan hak publik yang dirampas oleh kejahatan. Prinsip “non-conviction based asset forfeiture” yang menjadi dasar RUU ini diakui di banyak negara sebagai cara efektif menegakkan keadilan, terutama ketika pelaku telah melarikan diri atau meninggal dunia. Artinya, negara tidak perlu menunggu putusan pidana untuk mengambil kembali harta yang terbukti berasal dari kejahatan.
Namun di Indonesia, konsep ini diperdebatkan. Ada pihak yang menilai bahwa perampasan aset tanpa putusan pengadilan melanggar hak kepemilikan pribadi sebagaimana dijamin UUD 1945 Pasal 28H ayat (4). Padahal, konstitusi yang sama juga menegaskan bahwa hak-hak tersebut dapat dibatasi oleh undang-undang demi kepentingan umum, moralitas, dan ketertiban hukum. Maka, pertanyaan yang sebenarnya bukanlah apakah negara boleh merampas aset tanpa vonis pidana, tetapi apakah negara berani melindungi keadilan publik dari ketamakan individu.
Kelemahan dalam sistem hukum positif saat ini membuat aparat penegak hukum sering kali tidak berdaya menghadapi aset hasil kejahatan yang telah disembunyikan, dialihkan, atau diwariskan. Dalam kasus korupsi besar, aset yang nilainya ratusan miliar rupiah kerap hanya tersentuh sebagian kecilnya, sementara pelaku menikmati hasilnya di luar negeri. Tanpa RUU ini, hukum hanya menindak pelaku, tetapi gagal memulihkan kerugian negara.
RUU Perampasan Aset seharusnya dilihat sebagai bentuk konkret pelaksanaan amanat konstitusi untuk menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan tidak hanya tentang menghukum pelaku, tetapi juga memastikan hasil kejahatan kembali kepada rakyat. Setiap rupiah yang dikembalikan adalah bukti bahwa negara masih berdaulat atas kejahatan.
Menunda pengesahan RUU ini sama dengan menunda keadilan. Padahal, dalam prinsip hukum yang universal disebutkan: “Justice delayed is justice denied.” Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang hilang. Di tengah krisis moral dan ekonomi, rakyat tidak butuh janji hukum yang ideal, tetapi tindakan hukum yang nyata.
Kini, DPR dan Pemerintah dihadapkan pada ujian sejarah. Apakah mereka akan berpihak pada supremasi hukum, atau membiarkan keadilan dikalahkan oleh kompromi politik? Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang banyak berbicara tentang hukum, tetapi yang berani menegakkan hukum itu sendiri meski menyakitkan bagi sebagian penguasa.
Keadilan adalah milik publik. Aset hasil kejahatan bukanlah milik pribadi siapa pun, melainkan hak rakyat yang harus dikembalikan. Maka, pembentuk undang-undang tidak lagi punya alasan untuk menunda. Keadilan tidak menunggu waktu politik—karena hukum sejati berdiri di atas nurani bangsa, bukan di bawah meja kekuasaan.
Negara hukum sejati bukanlah negara yang takut pada kekuasaan, melainkan negara yang membuat kekuasaan tunduk kepada hukum.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”




































































