Negara Indonesia didirikan di atas prinsip pluralisme dan keragaman, yang seharusnya menjadi fondasi yang kuat untuk melindungi setiap individu. Namun, peristiwa penghancuran tempat ibadah Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) di Padang, Sumatera Barat, pada hari Minggu, 27 Juli 2025, menjadi sinyal kelam yang merobek komitmen kita terhadap nilai tersebut. Yang hancur bukan hanya tempat beribadah, tetapi juga nilai-nilai dasar seperti keadilan, kebebasan beragama, dan keamanan bagi semua warga, khususnya mereka yang tergolong minoritas.
Keputusan kebrutalan ini menunjukkan kekerasan yang nyata dan bukan sekadar kesalahpahaman. Sekelompok orang secara paksa menghentikan ibadah dan pembelajaran agama di tempat doa GKSI di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah. Yang menyedihkan, rumah doa ini juga berfungsi sebagai pusat pendidikan bagi anak-anak Kristen yang selama ini tidak mendapatkan pendidikan formal. Akibat serangan yang kasar ini, dua anak mengalami cedera fisik dan trauma mendalam, termasuk satu di antara mereka yang tidak dapat berjalan. Meskipun polisi telah menahan sembilan orang pelaku, banyak pejabat dan media lokal menyingkapi insiden itu sebagai “miskomunikasi” yang mereduksi dan menyamarkan kekerasan berdasarkan identitas. Ini merupakan penyangkalan terhadap kenyataan sosial yang rumit dan serius, di mana pelanggaran hak konstitusi dianggap seolah-olah hanyalah kesalahpahaman dalam administrasi.
Peristiwa di Padang bukanlah sesuatu yang terisolasi. Ia adalah puncak dari banyak masalah sosial, struktural, dan politik yang telah lama ada. Sayangnya, Sumatera Barat tidak asing dengan isu intoleransi. Penolakan untuk membangun gereja, pembubaran kegiatan ibadah umat Kristen, dan penekanan terhadap minoritas agama telah menjadi catatan buram yang terus berulang. Setidaknya ada tiga masalah mendasar yang mengakar: ketimpangan dalam perlindungan hukum terhadap hak beragama warga minoritas, di mana realitas di lapangan menunjukkan adanya diskriminasi sistemik; konflik sosial yang tumbuh subur karena kurangnya pemahaman terhadap keberagaman dan peran pemerintah yang lemah; serta interpretasi yang bias terhadap Peraturan Bersama Menteri (PBM) 2006 yang sering kali berfungsi sebagai alat pembatasan alih-alih perlindungan. Dalam konteks Padang, ironi semakin meningkat: pemerintah gagal memberikan pendidikan agama bagi siswa Kristen, sehingga jemaat GKSI harus menciptakan alternatif pendidikan. Dengan demikian, rumah doa tersebut menjadi simbol kekosongan tanggung jawab negara dan kemandirian masyarakat. Alih-alih dihargai, mereka justru diserang.
Secara langsung, para korban—terutama anak-anak—menghadapi luka fisik dan trauma psikologis yang mendalam. Namun, luka yang lebih parah adalah hilangnya rasa aman. Komunitas Kristen di Padang, dan bahkan di seluruh Indonesia, mengalami ancaman yang nyata terhadap kebebasan dalam menjalankan agama mereka. Pertanyaan mendasar muncul: Apakah negara benar-benar ada untuk melindungi kami? Dalam jangka panjang, insiden ini dapat memperburuk ketegangan sosial, memperdalam polarisasi identitas, dan perlahan-lahan mengikis persatuan bangsa. Ketika kekerasan dibungkam dengan narasi “damai” tanpa keadilan, maka perdamaian tersebut akan menjadi lemah. Toleransi tidak akan pernah berkembang dalam lingkungan yang membiarkan impunitas terus bertahan.
Menangkap pelaku merupakan suatu tindakan hukum yang diperlukan, tetapi itu saja tidak cukup. Negara harus menegaskan bahwa penghancuran tempat ibadah dan serangan terhadap anak-anak merupakan pelanggaran serius, bukan sekadar kesalahpahaman yang bisa diredakan. Penegak hukum harus menyelidiki secara mendalam: siapa yang menjadi dalang dibalik mobilisasi massa? Apa tujuan utama di balik itu? Apakah ada provokasi dari elite yang tidak resmi yang mengangkat perasaan kebencian? Sayangnya, belum ada petunjuk yang kuat bahwa proses hukum akan berlangsung secara transparan. Bahkan, dalam beberapa pernyataan, terdapat kecenderungan untuk meredam isu ini demi menjaga “kerukunan”. Namun, tanpa adanya keadilan, kerukunan yang sejati tidak akan pernah tercapai.
Penghancuran tempat ibadah, intimidasi kepada jemaat, kekerasan terhadap anak-anak, serta penghalangan terhadap aktivitas keagamaan memiliki dasar hukum yang tegas, mengacu pada Pasal 170 KUHP (kekerasan terhadap orang atau barang), Pasal 406 KUHP (perusakan), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Perlindungan Anak, hingga UUD 1945 Pasal 28E dan 29 yang memberikan jaminan kebebasan beragama dan perlindungan dari pemerintah. Hukum tidak boleh hanya berlaku ketat kepada kalangan bawah. Negara harus memberikan kepastian bahwa hukum akan ditegakkan bagi siapa pun pelakunya tanpa perlakuan berbeda.
Peristiwa di Padang seharusnya menjadi titik perubahan, bukan sekadar pengingat sesaat. Pemerintah, aparat, dan masyarakat perlu mengambil langkah korektif yang berarti: penegakan hukum yang jelas dan transparan dengan ancaman yang sesuai bagi pelaku; pemulihan bagi korban yang ditanggung oleh negara, termasuk biaya kesehatan dan penyembuhan trauma; evaluasi terhadap kebijakan tempat ibadah dan pendidikan agama untuk memastikan akses yang adil; menciptakan mekanisme untuk deteksi dini konflik keagamaan dengan melibatkan masyarakat; serta memperkuat pendidikan multikultural di sekolah agar anak-anak bisa tumbuh dengan sikap menerima perbedaan.
Kita tidak bisa membiarkan narasi “kerukunan” dijadikan alasan untuk mengabaikan keadilan. Kita tidak dapat menganggap kekerasan sebagai “kesalahpahaman”. Dan kita tidak bisa membiarkan luka ini memburuk tanpa perhatian dan tindakan nyata dari publik. Indonesia tidak akan hancur karena adanya perbedaan, tetapi bisa hancur jika tidak ada keberanian untuk bersikap adil dalam perbedaan tersebut. Dari Padang, kita ditantang untuk secara tegas menolak normalisasi intoleransi dan membangun negara yang sejati menghargai konstitusi serta melindungi hak-hak semua warganya. Ketika satu tempat ibadah dirusak, sebenarnya, tempat kebangsaan kita juga sedang diguncang. Apakah kita akan membiarkan celah ini semakin lebar dan merusak fondasi dari kebinekaan kita?