Fenomena kemerosotan minat mahasiswa terhadap organisasi kemahasiswaan (Ormawa) merupakan realitas yang kian mengkhawatirkan. Organisasi yang secara historis berfungsi sebagai “kawah candradimuka” tempat penempaan calon pemimpin dan intelektual kini menghadapi defisit partisipan yang signifikan. Implikasi paling serius dari kondisi ini adalah terhambatnya proses pengkaderan, yang merupakan jantung dari keberlanjutan sebuah organisasi.
Kondisi ini memaksa Ormawa masuk ke dalam jebakan pragmatisme. Fokus bergeser dari pembentukan kader yang ideologis dan strategis, menjadi sekadar upaya teknis untuk merekrut anggota demi terlaksananya program kerja yang telah direncanakan. Dalam konteks ini, predikat luhur “generation of change” (generasi perubahan) yang disematkan pada mahasiswa terancam kehilangan substansinya. Mustahil status tersebut dapat terwujud apabila proses re-generasi itu sendiri mengalami stagnasi, di mana calon penerus estafet kepemimpinan justru menunjukkan keengganan untuk terlibat.
Keengganan ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia seringkali berakar pada berbagai faktor internal yang bersifat kronis di dalam tubuh organisasi, yang mungkin dianggap tidak lagi relevan atau menarik bagi generasi saat ini. Padahal, esensi dasar berorganisasi harus terus ditegaskan: bahwa Ormawa adalah wahana fundamental untuk memperoleh ilmu, memperkaya pengalaman, dan yang terpenting, mentransformasi pola pikir. Tanpa pemahaman akan hakikat ini, organisasi hanya akan menjadi struktur formalitas yang kehilangan ruh perjuangannya.
Beberapa factor yang membuat organisasi sepi peminat
1. Kegagalan dalam beradaptasi dengan perubahan zaman
Akar masalah yang paling fundamental adalah kegagalan adaptasi organisasi kemahasiswaan (Ormawa) terhadap pergeseran lanskap sosiokultural. Masih dominannya metodologi pengkaderan dan pola pendekatan warisan yang cenderung birokratis, kaku, dan terlalu menekankan pada hierarki kekuasaan kini menjadi anakronistis. Pendekatan ini bertabrakan langsung dengan realitas psikososial Generasi Z dan Alpha.
Generasi kontemporer ini mendambakan ruang partisipasi yang lebih fleksibel, inklusif, dan egaliter, yang memungkinkan eksplorasi diri tanpa terkekang oleh struktur formalistis yang berjenjang. Mereka cenderung berorientasi pada dampak (impact-oriented) dan lebih menghargai eksekusi yang cepat (fast-paced execution), sebuah model yang jamak ditemukan dalam komunitas berbasis movement. Akibatnya, mereka memandang sinis siklus rapat maraton yang berjam-jam, yang seringkali hanya berfokus pada perencanaan program kerja tanpa jaminan eksekusi yang pasti di kemudian hari.
2. Perubahan Aktivitas: dari jalan ke digital
Telah terjadi pergeseran paradigma fundamental mengenai wujud “keaktifan”. Aktivisme konvensional, yang dahulu dimanifestasikan melalui indikator keterlibatan fisik seperti mobilisasi massa “turun ke jalan”, forum diskusi, atau pertemuan rutin, kini tidak lagi menjadi satu-satunya tolak ukur.
Langkah digital telah menjadi arena perjuangan baru yang dominan bagi Generasi Z dan Alpha. Mereka menunjukkan preferensi yang jelas terhadap artikulasi gagasan dan ekspresi opini melalui platform media sosial. Aksi kolektif digital, seperti gelombang solidaritas masif di media massa dan sosial terkait isu tertentu yang kita saksikan sebulan terakhir, menjadi preseden kuat.
Fenomena ini melahirkan kesadaran kritis: dampak (impact) dapat diciptakan secara efektif tanpa harus terikat pada struktur organisasi formal. Mahasiswa kini menyadari bahwa partisipasi substantif tidak lagi mensyaratkan kehadiran fisik dalam rapat rutin atau keharusan memegang jabatan struktural sebagai pengurus. Terjadi disintermediasi atau pemutusan antara “dampak” dan “kelembagaan”, di mana individu dapat berkontribusi langsung pada perubahan sosial secara adhoc dan non-hierarkis.
3. Pengalaman buruk terhadap organisasi
Faktor pendorong kemunduran berikutnya adalah disilusi (kekecewaan mendalam) mahasiswa terhadap kultur internal organisasi. Alih-alih menemukan ruang belajar yang transformative yang seharusnya menjadi nilai pembeda anggota baru justru dihadapkan pada realitas yang sarat beban. Kultur yang masih diwarnai oleh drama senioritas dan lingkungan yang toxic menciptakan beban psikologis yang signifikan.
Kondisi ini melahirkan kesenjangan yang tajam antara idealitas (ekspektasi awal untuk berkembang) dan realitas (praktik organisasi di lapangan). Paradoks terbesar muncul ketika organisasi mengadvokasi “perubahan” secara eksternal, namun gagal total dalam menerapkan transparansi dan akuntabilitas internal.
Tata kelola yang tertutup dan penuh konflik ini mencederai esensi perjuangan itu sendiri. Akibatnya, fungsi esensial organisasi mengalami distorsi. Ia tidak lagi dipersepsikan sebagai wahana yang mencerahkan secara intelektual (“membuat pintar”) atau memberdayakan secara sosial (“membuat senang”). Sebaliknya, organisasi telah bermutasi menjadi lingkungan yang kontraproduktif dan menjadi sumber stres bagi anggotanya.
Kombinasi dari struktur yang anakronistis, medium perjuangan yang usang, dan lingkungan internal yang tidak sehat telah mentransformasi persepsi Ormawa: dari wahana esensial pembentukan karakter, menjadi beban psikologis yang kontraproduktif. Jika tidak ada introspeksi radikal yang diikuti oleh reformasi struktural dan kultural yang fundamental, Ormawa tidak hanya akan terus kehilangan peminat. Lebih jauh lagi, mereka berisiko kehilangan seluruh signifikansi historisnya dan terancam menjadi sekadar relik yang ditinggalkan zaman, alih-alih berfungsi sebagai motor penggerak perubahan.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”