Pangan Lokal dan Dilema Program Makan Bergizi Gratis (MBG): Antara Cita-cita dan Ancaman
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) lahir dari niat luhur pemerintah: menghadirkan negara di meja makan anak-anak melalui penyediaan pangan bergizi, mencegah stunting, meningkatkan daya konsentrasi belajar, dan mewujudkan keadilan sosial dalam akses gizi. Akan tetapi, gagasan ideal ini justru kerap berbalik menjadi masalah baru. Alih-alih menyehatkan, pelaksanaannya di sejumlah daerah justru menimbulkan kasus keracunan massal.
Insiden di beberapa Provinsi dan Kota Kupang/NTT, ketika 11 siswa jatuh sakit setelah menyantap makanan MBG yang bertekstur berlendir, hanya satu contoh dari rangkaian kasus serupa di berbagai wilayah. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menekankan bahwa status bergizi tidak otomatis menjamin makanan aman dikonsumsi, sebab aspek keamanan pangan, bebas dari bakteri, virus, dan jamur merupakan hal paling mendasar.
Rangkaian kasus tersebut menguak kelemahan struktural MBG: model yang seragam, terpusat, dan berproduksi masif. Ribuan paket makanan diproses di dapur skala besar, lalu disebarkan lintas daerah dengan segala keterbatasan infrastruktur. Celah masalah muncul di berbagai titik: penyimpanan tanpa kontrol suhu, kontaminasi silang saat produksi, pengawasan distribusi yang lemah, hingga penurunan mutu bahan baku demi memenuhi target kuantitas. Pakar UGM menegaskan, produksi masal semacam itu menuntut standar higienitas layaknya industri makanan besar. Namun fakta di lapangan menunjukkan, sebagian besar dapur MBG belum siap menjalaninya.
Pertanyaan yang lebih mendalam pun muncul: apakah program ini terjebak dalam obsesi pangan seragam nasional hingga melupakan potensi pangan lokal yang lebih kontekstual, aman, dan berkelanjutan bila dikelola dengan tepat?
Pangan Lokal NTT: Identitas Budaya sekaligus Peluang Strategis
NTT menyimpan ragam pangan lokal yang menjadi bagian dari tradisi dan kearifan ekologi setempat. Sebut saja Jagung Titi yang tahan lama, Jagung Bose sebagai pengganti nasi, Se’i atau daging asap yang diawetkan dengan cara tradisional, hingga Catemak Jagung, Rumpu Rampe, dan Kue Jawada yang akrab dalam keseharian masyarakat.
Nilai lebih pangan lokal bukan hanya terletak pada keunikan rasa dan identitas budaya, tetapi juga pada efisiensi logistik dan keamanan pangan. Bila MBG memanfaatkan bahan lokal yang diolah langsung di tingkat komunitas atau sekolah, rantai distribusi akan lebih pendek, kualitas lebih terjaga, dan partisipasi masyarakat dapat dioptimalkan.
Namun, penggunaan pangan lokal juga menyimpan tantangan. Jagung rentan terkontaminasi aflatoksin, sayuran segar bisa membawa mikroba, sementara Se’i berisiko berbahaya bila proses pengasapan tidak higienis. Artinya, pangan lokal tidak bisa diposisikan sebagai solusi instan, melainkan harus dikelola dengan sistem pengawasan dan standar keamanan yang ketat.
Alasan Pangan Lokal Perlu Diintegrasikan ke MBG
- Kontekstual dan sesuai budaya setempat: Jagung lebih dekat dengan pola konsumsi masyarakat NTT dibanding nasi. Integrasi ini memperkuat identitas pangan sekaligus kedaulatan daerah.
- Produksi terdesentralisasi: Pengolahan di tingkat desa atau sekolah membuat pangan lebih segar, jarak distribusi lebih pendek, dan risiko keracunan berkurang.
- Pemberdayaan UMKM dan komunitas: Pangan lokal membuka peluang bagi usaha kecil dan rumah tangga pengolah makanan untuk bermitra, sekaligus memperkuat ekonomi lokal.
- Mengurangi ketergantungan impor: Sorgum, ubi, dan jagung merupakan sumber pangan lokal yang tahan iklim kering, sehingga lebih andal dibanding beras atau gandum impor.
- Keamanan lebih mudah diawasi: Produksi berbasis komunitas memungkinkan keterlibatan langsung orang tua, guru, dan komite sekolah.
Catatan Kritis: Prasyarat Mutlak
Agar pangan lokal tidak justru menjadi sumber keracunan baru, sejumlah syarat perlu ditegakkan: standarisasi HACCP di setiap dapur sekolah, pelatihan dan sertifikasi pengelola, monitoring berkala melalui uji laboratorium, serta penerapan skema hybrid di daerah sulit akses. Selain itu, audit sosial oleh komite sekolah dan orang tua penting untuk menjaga transparansi. Sebelum dijalankan nasional, integrasi pangan lokal sebaiknya diuji coba lewat pilot project di beberapa kabupaten.
Penutup: Dari Risiko Menjadi Kesempatan
Secara konseptual, MBG adalah program visioner. Namun kegagalan menjaga keamanan pangan menjadikannya bumerang. Kasus keracunan massal harus dibaca sebagai cermin dari paradigma kebijakan yang keliru: terlalu sentralistis, seragam, dan mengabaikan kearifan pangan lokal.
Sebaliknya, jika negara berani melakukan transformasi dengan menjadikan pangan lokal sebagai basis, dipadukan dengan standar keamanan modern dan pengelolaan berbasis komunitas, MBG dapat berubah menjadi program yang sehat, adil, dan berkelanjutan. Dari jagung hingga se’i, dari UMKM lokal hingga dapur sekolah, pangan daerah berpotensi menjadi jantung program MBG yang sesungguhnya.
Tanpa perubahan, MBG akan terus berkutat dalam siklus gizi semu dan ancaman keracunan. Dengan perubahan, MBG dapat menjadi fondasi kedaulatan pangan nasional yang bertumpu pada akar budaya bangsa.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”