Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan sumber daya pertanian yang melimpah. Salah satu komoditas yang banyak dimanfaatkan adalah singkong (Manihot esculenta). Umbi ini diolah menjadi berbagai produk seperti tepung tapioka, keripik, maupun olahan pangan tradisional lainnya. Namun di balik manfaatnya, bagian kulit singkong kerap dianggap tidak berguna. Di berbagai sentra pengolahan, kulitnya hanya menumpuk, dibuang, atau sekadar dijadikan pakan ternak. Padahal, limbah ini sebenarnya memiliki potensi besar untuk diolah menjadi tepung kulit singkong (cassava peel flour), produk bernilai jual tinggi yang sekaligus ramah lingkungan.
Di sinilah agroindustri berperan penting sebagai penggerak pembangunan pertanian Indonesia. Agroindustri tidak hanya berfungsi sebagai jembatan antara sektor hulu yang menghasilkan bahan mentah dan sektor hilir yang mengolahnya menjadi produk bernilai tambah, tetapi juga sebagai katalis yang mendorong modernisasi sistem pertanian. Dengan penerapan prinsip green manufacturing, proses produksi dapat dilakukan secara lebih efisien, hemat energi, dan minim limbah. Optimalisasi bahan baku serta penerapan sistem daur ulang membuat proses produksi tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga berkelanjutan secara lingkungan. Pendekatan ini terbukti mampu meningkatkan daya saing produk lokal di pasar global.
Kulit singkong sendiri menyumbang sekitar 10–15% dari berat total umbi dan masih mengandung berbagai komponen gizi seperti pati, serat pangan, kalsium, dan senyawa fenolik yang bersifat antioksidan alami. Sayangnya, potensi tersebut belum banyak dimanfaatkan karena keterbatasan pengetahuan dan teknologi pengolahan di masyarakat. Selain itu, kulit singkong mengandung senyawa sianogenik glukosida yang dapat menghasilkan sianida (HCN) bila tidak diolah dengan benar. Proses sederhana seperti pencucian, perendaman, perebusan, dan pengeringan dapat menurunkan kadar sianida hingga di bawah batas aman konsumsi. Setelah itu, kulit singkong dapat dikeringkan dengan oven atau solar dryer, digiling, dan diayak hingga berbentuk tepung halus. Teknologi sederhana seperti ini sangat mungkin diterapkan oleh pelaku usaha kecil maupun rumah tangga di daerah penghasil singkong.
Hasil olahan berupa tepung kulit singkong dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam berbagai produk pangan fungsional seperti roti, biskuit tinggi serat, hingga brownies rendah gula. Produk-produk ini memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan bahan mentahnya dan dapat menjadi alternatif pangan bergizi yang menyehatkan, terutama karena kandungan seratnya yang membantu pencernaan serta menstabilkan kadar gula darah dan kolesterol. Dengan demikian, penerapan konsep agroindustri bukan hanya menambah nilai ekonomi hasil pertanian, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan nasional.
Lebih jauh, penerapan konsep zero waste agroindustry menjadi langkah penting untuk memastikan tidak ada bahan sisa yang terbuang percuma. Prinsip 9R+1R (reduce, reuse, recycle, replace, rot, replant, repair, refuse, rethink, dan reworm) efektif dalam menekan volume limbah serta mendorong pemanfaatan kembali sumber daya secara maksimal. Jika konsep ini diterapkan dalam pengolahan singkong, limbah seperti kulit, air rendaman, dan residu penggilingan dapat diubah menjadi kompos, pakan ternak, atau bahkan sumber energi biomassa. Pendekatan ini mencerminkan transformasi pertanian menuju sistem ekonomi berkelanjutan yang efisien dan ramah lingkungan.
Selain itu, penerapan green processing sebagai wujud modernisasi proses pengolahan yang efisien dan ramah lingkungan menjadi langkah nyata integrasi teknologi hijau dalam agroindustri, misalnya pengeringan dengan energi matahari, penggunaan kemasan biodegradable, dan pengolahan limbah cair, merupakan wujud nyata penerapan teknologi hijau di sektor agroindustri. Langkah-langkah tersebut sejalan dengan upaya global untuk menekan emisi karbon serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Jika setiap daerah penghasil singkong memiliki unit kecil pengeringan dan penggilingan kulit singkong, maka masyarakat tidak hanya mampu mengurangi limbah, tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru. Inilah contoh nyata pembangunan pertanian modern yang inklusif, menggabungkan inovasi, teknologi, dan pemberdayaan masyarakat dalam satu sistem yang saling mendukung.
Dari kulit singkong, kita belajar bahwa pembangunan pertanian Indonesia tidak semata bergantung pada hasil utama, tetapi juga pada kemampuan untuk melihat potensi dari hal-hal yang sering diabaikan. Melalui penerapan green manufacturing dan zero waste, agroindustri dapat menjadi motor penggerak pertanian masa depan, pertanian yang lebih inovatif, produktif, dan berkelanjutan bagi kesejahteraan bangsa.
Daftar Pustaka :
Adifa, F., dan Wibero, R. 2023. Efektifitas dan Strategi Pengelolaan Sampah Terpadu dengan Konsep Zero Waste. Jurnal Greenation Ilmu Teknik. Vol. 1(4): 155-161.
Viariani, W., Rizki, A., dan Muflikh, Y. N. 2024. Faktor Pendorong dan Penghambat Green Manufacturing pada Sektor Agroindustri. Mimbar Agribisnis: Jurnal Pemikiran Masyarakat Ilmiah Berwawasan Agribisnis. Vol. 10(2): 3317-3326.
Zaifi, H., Yulastri, A., Fridayati, L., dan Andriani, C. 2025. Karakteristik Sensori dan Penerimaan Panelis terhadap Keripik Berbahan Dasar Kulit Singkong. Jurnal Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian. Vol. 20(1): 43-53.
Penulis :
Sofia Wardani
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”