Selatpanjang, [9 Juni 2025] — Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti kembali masuk dalam sorotan setelah meraih nilai sangat rendah dalam Indeks Keterbukaan Informasi Anggaran (KIA). Hal ini mengundang kritik dari berbagai kalangan, termasuk lembaga pemantau transparansi dan anggota DPRD.
Berdasarkan hasil evaluasi FITRA Riau terbaru, Meranti berada di posisi tertinggi sebagai daerah yang paling “tertutup” dalam pengelolaan dan publikasi anggaran. Skor KIA Meranti ditempatkan di kategori sangat rendah, bahkan di antara lima kabupaten/kota paling bawah se-Riau, FITRA menyoroti bahwa rata-rata indeks keterbukaan anggaran daerah masih jauh dari ambang minimal 0,20—optimalnya berada di antara 0,80–1,00 untuk transparansi maksimal .
Indeks Keterbukaan Informasi Anggaran bertujuan untuk mendukung akuntabilitas dan peran aktif masyarakat dalam pengawasan publik. Menurut FITRA, daerah yang tidak proaktif mempublikasikan dokumen APBD berpotensi menjadi wilayah rawan praktik korupsi dan inefisiensi . Tren ini berulang selama beberapa tahun terakhir, dengan Meranti konsisten tergabung dalam kelompok daerah dengan skor terburuk .
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Meranti mengakui permasalahan ini sebagai cerminan lemahnya komitmen pemerintahan terhadap transparansi. Anggota DPRD meminta Pemkab segera memperbaiki pelayanan informasi publik, termasuk mengoptimalkan portal PPID dan mempublikasi dokumen-dokumen perencanaan (RKA, DPA), realisasi belanja, dan laporan pertanggungjawaban secara periodik.
Analisis dari lembaga pemantau merekomendasikan beberapa langkah konkret:
1.Aktifkan dan update portal PPID: Pastikan dokumen anggaran rutin dipublikasikan secara lengkap setiap triwulan.
2.Sosialisasikan ke masyarakat: Jelaskan mekanisme pengajuan informasi melalui kecamatan dan kelurahan.
3.Dorong partisipasi publik: Ajak akademisi dan organisasi masyarakat sipil untuk memantau realisasi anggaran.
5.Tingkatkan pengawasan internal: Libatkan inspektorat daerah untuk audit berkala terhadap tata kelola keuangan.
Tanpa perbaikan, Meranti akan berpotensi kehilangan kepercayaan publik dan investor. Selain itu, risiko penyalahgunaan anggaran dalam proyek infrastruktur—seperti pembangunan jembatan dan kantor bupati—akan sulit terdeteksi secara dini. Masyarakat pun akan kesulitan menilai efektivitas belanja publik yang mestinya mendukung peningkatan layanan dasar.