Indonesia – Gelombang kepemimpinan perempuan di tingkat daerah semakin menguat dalam beberapa tahun terakhir. Kehadiran mereka di kursi gubernur, bupati, atau wali kota tidak hanya memecah tradisi kepemimpinan laki-laki tetapi juga membawa gaya kepemimpinan yang kerap diklaim memiliki “warna” berbeda. Lantas, bagaimana sebenarnya perbedaan kepemimpinan kepala daerah perempuan dibandingkan dengan laki-laki?
Berdasarkan pantauan di beberapa daerah, pola kepemimpinan perempuan cenderung menitikberatkan pada pendekatan yang lebih kolaboratif dan empatik. Seorang pengamat kebijakan publik, Dr. Anindya Pertiwi, menyatakan bahwa secara umum, pemimpin perempuan sering kali menunjukkan perhatian lebih besar pada isu-isu sosial dan pelayanan dasar.
“Kita melihat adanya kecenderungan peningkatan alokasi anggaran untuk sektor kesehatan, pendidikan, dan perlindungan anak di daerah yang dipimpin perempuan. Mereka juga dikenal sangat detail dan teliti dalam mengawasi implementasi program, cenderung menghindari risiko yang tidak perlu,” ujar Dr. Anindya
Fokus Pada Pemberdayaan dan Inklusi
Di lapangan, sejumlah bukti mendukung observasi ini. Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana (Bunda Eva), misalnya, telah mengubah wajah kota dengan program yang sangat manusiawi, seperti pembangunan ruang terbuka hijau yang inklusif dan pemberdayaan masyarakat kelas bawah.

Begitu pula dengan Bupati Siak (Prop. Riau) Afni Zulkifli, yang terus melanjutkan program pro-rakyat kecil dengan pendekatan yang komunikatif.
Seorang ibu rumah tangga di Kabupaten Siak, Sari (45), merasakan perbedaan tersebut. “Cara Bu Bupati menyampaikan program terasa lebih santai dan mudah dipahami. Beliau sering turun langsung ke pasar atau ke kampung-kampung untuk mendengarkan keluhan kami. Rasanya lebih didengar,” ungkapnya.

Tantangan dan Bias Gender yang Masih Membayangi
Namun, jalan kepemimpinan perempuan tidak selalu mulus. Mereka sering kali menghadapi standar ganda dan bias gender yang lebih tinggi. Sebuah kesalahan kecil bisa dengan cepat dibesar-besarkan dan dikaitkan dengan emosionalitas atau ketidakmampuan karena ia perempuan.
“Pemimpin perempuan berada di bawah mikroskop. Setiap ekspresi, cara berpakaian, bahkan nada bicara, dikritik lebih keras daripada rekan laki-laki mereka. Jika tegas, dibilang keras kepala dan tidak feminin. Jika lembut, dibilang tidak tegas dan tidak memimpin,” papar Shinta G. dari LSM ‘Suara Perempuan Politik’.
Tantangan lain adalah dalam hal membangun koalisi politik. Di ruang-ruang yang masih didominasi laki-laki, pemimpin perempuan harus bekerja ekstra keras untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan dari para tokoh politik tradisional.
Melampaui Gender, Kembali ke Kompetensi
Pada akhirnya, meski terdapat perbedaan gaya dan pendekatan, esensi dari kepemimpinan yang baik tetap pada kompetensi, integritas, dan visi yang jelas. Kepemimpinan perempuan telah memperkaya khazanah tata kelola pemerintahan dengan membawa perspektif baru yang inklusif dan detail-oriented.

Keberhasilan seorang kepala daerah, terlepas dari gendernya, akan dinilai dari sejauh mana mereka mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, membuka lapangan kerja, dan memberikan pelayanan publik yang terbaik. Masyarakat tidak lagi membutuhkan pemimpin berdasarkan jenis kelamin, tetapi pemimpin yang memiliki hati, kemampuan, dan komitmen untuk membangun daerahnya.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”