Di tengah kemajuan teknologi dan kesadaran akan hak asasi manusia, praktik perkawinan anak masih menjadi luka sosial yang nyata di banyak wilayah Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa hingga tahun 2023, sekitar 1 dari 12 anak perempuan di Indonesia telah menikah sebelum usia 18 tahun. Meskipun angka ini menunjukkan penurunan dibanding satu dekade lalu, akar permasalahan yang kompleks membuat isu ini terus berulang.
Tak bisa disangkal, perkawinan anak bukan hanya soal usia. Ini adalah manifestasi dari ketimpangan gender, kemiskinan struktural, akses pendidikan yang tidak merata, dan kultur patriarkal yang telah mengakar sejak lama. Oleh karena itu, pencegahannya tak cukup hanya dengan kampanye sesaat atau aturan hukum yang bersifat normatif. Yang dibutuhkan adalah strategi transformatif dan pendekatan lintas sektor yang sistemik dan inklusif.
Mengapa Strategi Transformatif Dibutuhkan?
Strategi transformatif mengacu pada upaya pencegahan yang tidak hanya mengatasi gejala, tetapi mendorong perubahan sosial yang mendalam dan berkelanjutan. Alih-alih sekadar memberi tahu bahwa menikah dini itu salah, strategi ini mendorong masyarakat — terutama anak muda dan keluarga — untuk memahami hak-hak anak, potensi risiko kesehatan dan ekonomi, serta memperkuat posisi tawar perempuan dalam relasi sosial.
Salah satu contoh nyata bisa ditemukan dalam inisiatif “Sekolah Perempuan” di sejumlah daerah seperti NTB dan Sulawesi Selatan. Melalui pendekatan berbasis komunitas, para ibu dan remaja perempuan didorong untuk mengenali potensi dirinya, terlibat aktif dalam musyawarah desa, hingga menyuarakan penolakan terhadap praktik perkawinan anak secara kolektif. Ini bukan sekadar penyuluhan, melainkan proses pemberdayaan.
Strategi transformatif juga melibatkan rekonstruksi norma sosial. Misalnya, membongkar stigma bahwa anak perempuan akan “membawa malu” jika tidak segera menikah, atau keyakinan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi karena akan menjadi ibu rumah tangga. Proses ini membutuhkan pendekatan yang sabar, mendalam, dan berbasis dialog antar generasi.
Pentingnya Pendekatan Lintas Sektor: Dari Ruang Kelas hingga Meja Kebijakan
Pencegahan perkawinan anak menyentuh banyak sektor kehidupan. Pendidikan, kesehatan, hukum, perlindungan sosial, ekonomi, hingga keagamaan — semua punya peran. Oleh karena itu, koordinasi lintas sektor bukan hanya pelengkap, tetapi syarat utama keberhasilan.
Bayangkan satu desa di mana sekolah aktif mengidentifikasi murid-murid yang berisiko putus sekolah, puskesmas rutin menyampaikan edukasi tentang kesehatan reproduksi, tokoh agama menyampaikan khotbah tentang pentingnya pendidikan anak perempuan, dan aparat desa melindungi anak dari tekanan sosial untuk menikah dini. Di tempat lain, ini telah terbukti efektif — misalnya melalui program Model Integrasi Perlindungan Anak yang dikembangkan di beberapa kabupaten oleh KemenPPPA dan UNICEF.
Namun, pendekatan lintas sektor juga memerlukan dukungan kebijakan. Meski Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 telah menetapkan usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun, implementasinya masih diwarnai celah, terutama melalui mekanisme dispensasi di pengadilan. Pada tahun 2022, Mahkamah Agung mencatat lebih dari 60.000 permohonan dispensasi kawin, dan sebagian besar dikabulkan. Ini menunjukkan bahwa hukum saja tidak cukup tanpa sinergi lintas sektor yang kuat dalam melakukan pencegahan sejak dini.
Melibatkan Remaja: Bukan Objek, Tapi Subjek Perubahan
Salah satu kelemahan intervensi konvensional adalah memperlakukan anak dan remaja hanya sebagai objek perlindungan. Padahal, mereka adalah agen perubahan paling potensial.
Organisasi kepemudaan, forum anak, dan komunitas digital bisa menjadi medium penting. Kampanye digital seperti “#StopNikahAnak” di TikTok dan Instagram memperlihatkan bagaimana remaja bisa menyampaikan pesan dengan cara yang lebih nyambung dan persuasif di kalangan mereka sendiri. Saat anak muda menyuarakan hak atas pendidikan, pekerjaan layak, dan masa depan yang terbuka, narasi dominan mulai bergeser.
Kehadiran program-program seperti Youth Advisory Council, yang memberikan ruang bagi remaja untuk memberi masukan dalam perumusan kebijakan, adalah langkah positif menuju demokratisasi suara anak. Di sini, transformatif tidak hanya berarti mengubah masyarakat, tapi juga menguatkan posisi anak sebagai subjek yang mampu membuat keputusan sadar untuk masa depannya.
Bergerak Bersama, Mewujudkan Masa Depan yang Bebas dari Perkawinan Anak
Isu perkawinan anak adalah tantangan multidimensi yang tidak bisa diatasi secara sektoral. Butuh pendekatan yang menyeluruh, terintegrasi, dan berkelanjutan. Strategi transformatif membantu mengubah cara pandang dan membongkar akar budaya yang diskriminatif, sementara pendekatan lintas sektor memungkinkan kita membangun ekosistem yang mendukung anak untuk tumbuh, belajar, dan berkembang tanpa harus terbebani peran dewasa sebelum waktunya.
Keberhasilan pencegahan bukan hanya soal berapa banyak anak yang batal dinikahkan. Tapi juga tentang berapa banyak keluarga yang sadar akan hak anak, berapa banyak guru yang berani bersuara, berapa banyak kebijakan yang responsif, dan berapa luas dukungan publik terhadap masa depan yang lebih adil bagi generasi muda.
Karena mencegah satu perkawinan anak hari ini, berarti menyelamatkan satu generasi masa depan.