Sejauh ini, Pesantren dipandang sebagai tempat dan benteng pembentukan moral bangsa, tempat lahir dan tumbuhnya kesalehan, kemandirian, dan ketulusan. Santri digambarkan sebagai pribadi yang taat, berdisiplin, mandiri, dan ikhlas mengabdi kepada kiai serta ilmu agama yang mereka pelajari selama di pesantren. Namun, dibalik citra positif yang tampak, ada realita sosial-ekonomi yang jarang terekspos ke permukaan: sistem pengabdian yang justru menciptakan ketergantungan. Banyak santri yang mengabdikan diri selama bertahun-tahun tanpa mendapatkan keterampilan hidup yang memadai, bahkan tak sedikit yang lulus dari pesantren tanpa arah ekonomi yang jelas. Menurut laporan IDN Times Jawa Timur (2023), sekitar 65% santri yang lulus dari pesantren tidak memiliki keterampilan praktis yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Akibatnya, sebagian besar dari mereka kesulitan terserap di sektor formal dan berakhir bekerja di sektor informal seperti pertanian, peternakan, atau tenaga kasar. Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU, Hodri Ariev, dalam liputan yang sama, menegaskan bahwa kondisi ini menunjukan lemahnya integrasi antara kurikulum pesantren dengan kebutuhan pasar tenaga kerja modern. Ia menilai, banyak pesantren yang masih memprioritaskan pengabdian dan loyalitas kepada kiai di atas penguasaan keterampilan praktis duniawi, sehingga lulusan pesantren kerap bergantung pada lembaga atau figur pesantren untuk bertahan hidup. Realita ini mengungkap ironi besar, lembaga yang mestinya membangun kemandirian justru banyak melahirkan generasi yang kesulitan untuk mandiri secara ekonomi. Maka muncul pertanyaan penting ‘apakah pengabdian yang tidak membuka jalan kemandirian masih bisa disebut sebagai ibadah sosial?’
Ketaatan dan Struktur Kekuasaan dalam Pesantren
Posisi kiai menempati puncak hirarki dalam struktur sosial pesantren. Posisinya bukanya sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai pemegang kendali ekonomi dan sosial di lingkungan pesantren. Pierre Bourdieu dalam Theory of Capital 1986, menyebut fenomena seperti ini sebagai bentuk dari modal simbolik, yaitu ketika kekuasaan spiritual berubah menjadi sumber legitimasi ekonomi dan sosial. Dalam konteks pesantren, penghormatan kepada kiai bukan hanya sekedar ekspresi keimanan, tetapi juga mekanisme sosial untuk menjaga hierarki tetap kokoh.
Azizah (2024 mencatat bahwa modernisasi pesantren belum sepenuhnya menghapus pola feodal yang mengakar. Ia menemukan bahwa meskipun pesantren mulai mengadopsi sistem pendidikan formal dan kurikulum umum, figur kiai masih menjadi pusat otoritas yang menentukan arah lembaga, sementara posisi santri tetap dalam subordinat yang dilegitimasi oleh nilai-nilai seperti tawadhu’, ikhlas, dan barokah. Dalam praktiknya, niali-nilai ini sering menjelma menjadi justifikasi atas kerja tanpa kompensasi, dimana pengabdian dijadikan sistem bukan pilihan.
Ekonomi Pengabdian dan Ketimpangan yang Tersembunyi
Pesantren modern kini tidak hanya sekedar tempat untuk memperdalam ilmu agama. Banyak pesantren yang telah mengadopsi lembaga ekonomi dengan usaha di bidang pertanian, perdagangan, percetakan, kuliner, hingga travel umrah. Namun, tenaga yang menjadi penggerak roda ekonomi ini sering kali datang dari para santri. Mereka bekerja di dapur, sawah, toko, atau bengkel pesantren dengan imbalan “pengalaman”, “pahala”, atau bahkan “barokah”.
Data dari Kementrian Agama (2022) menunjukan hanya 18% pesantren di Indonesia yang mengintegrasikan pelatihan vokasi atau kewirausahaan dalam kurikulumnya. Artinya, lebih dari 4 juta santri berpotensi lulus tanpa keterampilan kerja yang relevan dengan pasar kerja dunia modern. Akibatnya, pengabdian yang seharusnya menjadi bentuk pembelajaran justru berkamuflase menjadi mekanisme ketergantungan ekonomi. Pengabdian yang tidak diimbangi dengan pemberdayaan pada akhirnya hanya menciptakan asimetri kesejahteraan. Pesantren tumbuh menjadi lembaga dengan aset ekonomi besar, tetapi sebagai santri tetap hidup dalam kondisi serba terbatas. Ideologi “ikhlas” sering digunakan untuk menutup ruangan kritik, padahal sistem ini menormalisasi kerja tanpa upah dalam bingkai kesalahan.
Ketergantungan yang Direstui: Moral Economy ala Pesantren
Fenomena ini sejalan dengan konsep “moral economy” dari James C. Scott (1976), di mana ketimpangan ekonomi dapat diterima karena dibungkus nilai moral dan religius. Dalam konteks pesantren, santri yang bekerja tanpa upah tidak merasa dieksploitasi, karena dianggap bagian dari latihan spiritual. Sistem ini menciptakan rasa ‘adil” palsu, di mana eksploitasi ekonomi di legitimasi oleh nilai kesalehan. Liputan Tirto.id (2022) menyoroti bagaimana banyak alumni pesantren kesulitan masuk pasar kerja karena tidak memiliki skill teknis. Sebagian hanya mampu bekerja di sektor informal seperti berdagang kecil atau menjadi guru ngaji tanpa penghasilan tetap. Artikel The Conversation Indonesia (2021) juga menegaskan bahwa banyak santri merasa “terlambat” bersaing karena kurikulum pesantren tidak memberi ruang pada literasi digital, bahasa asing, atau kewirausahaan modern.
Menggugat Makna Pengabdian
Sudah saatnya sistem pengabdian di pesantren dikritisi bukan karena menentang nilai religius, tetapi demia mengembalikan makna dari pengabdian itu sendiri. Dalam konteks sosial, pengabdian idealnya berfungsi sebagai sarana pemberdayaan, bukan reproduksi ketergantungan; sebagai ruang pembebasan, bukan penundukan. Jika pesantren terus menempatkan kerja santri dalam bingkai ketaatan semata tanpa memberi bekal hidup yang memadai, maka pesantren berisiko menjadi lembaga yang memproduksi kepatuhan tanpa pemberdayaan. Padahal, semangat izzul Islam wal muslimin menegaskan bahwa Islam menuntun pada kemuliaan dan kemandirian umat, bukan pada kepatuhan yang menindas.
Ketaatan tanpa kesadaran hanya melahirkan ketergantungan baru. Justru ketika pesantren berani menata ulang sistemnya, di situlah ia benar-benar menjalankan perannya: membebaskan manusia dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakberdayaan.
REFERENCE
Azizah, N. (2024). Relasi kuasa dan transformasi sosial di pesantren modern Indonesia. Jurnal Sosiologi Agama, 18(1), 45–62.
Bourdieu, P. (1986). The forms of capital. In J. Richardson (Ed.), Handbook of theory and research for the sociology of education (pp. 241–258). Greenwood Press.
Hasana, K. (2023, September 12). Banyak santri lulusan pesantren tak punya keterampilan praktis, RMI PBNU dorong reformasi kurikulum. IDN Times Jawa Timur. https://jatim.idntimes.com/news/jawa-timur/khusnul-hasanah-1/banyak-santri-lulusan-pesantren-tak-punya-keterampilan-praktis
Kementerian Agama Republik Indonesia. (2022). Statistik pendidikan keagamaan Islam tahun 2022. Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren. https://ditpdpontren.kemenag.go.id/pdpontren/statistik
Scott, J. C. (1976). The moral economy of the peasant: Rebellion and subsistence in Southeast Asia. Yale University Press.
The Conversation Indonesia. (2021, December 5). Mengapa banyak lulusan pesantren sulit masuk dunia kerja? https://theconversation.com/mengapa-banyak-lulusan-pesantren-sulit-masuk-dunia-kerja-172533
Tirto.id. (2022, November 7). Lulusan pesantren dan tantangan dunia kerja di era digital. https://tirto.id/lulusan-pesantren-dan-tantangan-dunia-kerja-di-era-digital-gpKk
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”