Daerah Cirebon adalah tanah yang kaya dengan budaya dan religiusitas, kini tengah menghadapi ujian yang serius di dunia politik lokal. Bukan siapa yang menjadi pemenang atau yang kalah dalam pemilihan kepala desa (Pilkades), melainkan soal bagaimana cara menang itu diperoleh. Di banyak desa, suhu politik meningkat panas setiap diadakannya pilkades. Bukan sekedar adu gagasan, tapi adu pengaruh, uang, bahkan emosi warga itu sendiri. Hal ini sangat sering menjadikan publik terhadap suatu permasalahan ini, karena suasana kampung yang biasanya rukun tiba-tiba menjadi tegang, hanya karena adanya perbedaan pilihan.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa politik di Indonesia masih dalam tingkat akar rumput belum tumbuh sepenuhnya dewasa. Ketika ada pemilihan kepala desa justru menimbulkan konflik sosial, hal ini menjadi suatu pertanyaan dimana nilai gotong royong dan kearifan lokal yang dulu menjadi ciri khas masyarakat Cirebon?
Ada pula permasalahan ini yang disebabkan karena pengaruh uang ketika pemilihan kepala desa sedang berjalan yaitu uang fajar yang melanda. Istilah uang fajar ini sudah menjadi rahasia umum setiap adanya ajang pemilihan kepala desa. Uang yang diumumkan menjelang hari pemungutan suara dianggap sebagai tanda terima kasih atau suatu bentuk perhatian, padahal yang sebenarnya terjadi hakikatnya adalah politik uang. Praktik ini sangat merusak kesucian demokrasi desa dan hilangnya nurani pada demokrasi politik.
Ironisnya, banyak warga yang sadar bahwa itu perbuatan salah, tapi tetap bertahan dengan alasan “kalau gak diambil, nanti rugi sendiri”. Pola pikir seperti ini menampilkan bahwa korupsi politik tidak selalu bermula dari atas, tapi bisa tumbuh dari bawah, dari mentalitas masyarakat yang sudah terbiasa menjual suara dengan harga murah/menerima keadaan. Ketika kepala desa sudah terpilih dengan modal uang, bukan hanya kepercayaan, maka arah kepemimpinannya pun cenderung berpijak pada kepentingan pribadi. Tidak mengherankan jika kemudia muncul kasus yang membahas tentang dana desa, proyek fiktif, atau pembangunan yang tidak menyentuh kebutuhan warga. Semua ini berawal dari satu hal: politik dibeli dengan uang.
Fenomena ini menunjukkan bahwa salah satu sebab mengapa kesadaran politik masyarakat desa belum matang adalah minimnya ruang diskusi publik. Politik sering kali dianggap hal kotor, milik pejabat atau orang berduit saja, padahal sejatinya politik adalah bagian dari kehidupan bersama. Banyak desa di Cirebon, belum banyak ruang dimana warga bisa berdialog secara sehat tentang kebijakan publik, keuangan desa, atau arah pembangunan. Akibatnya, ketika pemilihan datang, warga mudah terpengaruh oleh janji, iming-iming uang, atau pengaruh tokoh tertentu tanpa menilai program yang ditawarkan. Padahal jika ada diskusi politik yang sehat di tingkat desa, misalnya melalui forum warga majelis desa, atau bahkan kegiatan karang taruna masyarakat bisa belajar memahami gak dan kewajiban politiknya. Warga akan tahu bahwa memilih pemimpin bukan sekadar soal “siapa yang dikenal” atau “siapa yang memberi amplop”, tapi tentang siapa yang punya visi, integritas, dan keberpihakan pada rakyat kecil.
Pilkades yang ditandatangani dengan janji, bahkan sampai ada korban luka atau permusuhan antar warga, menunjukkan bahwa demokrasi lokal masih rapuh. Emosi mudah terpicu, dan solidaritas sosial terkoyak hanya karena perbedaan pilihan. Padahal kepala desa hanyalah pelayanan publik, bukan penguasa. Ketika masyarakat mampu melihat posisi pemimpin sebagai pelayan, maka fanatisme politik bisa diredam. Oleh karena itu, pendidikan politik harus bisa menjadi bagian dari kehidupan kita. Tokoh agama, guru, mahasiswa, peserta didik, masyarakat dan karang taruna bisa berperan besar dalam menanamkan nilai-nilai demokrasi yang santun, nilai yang selaras dengan budaya Cirebon yang lemah lembut dan beradab.
Sudah saatnya masyarakat Cirebon membangun kesadaran politik baru yang berlandaskan pada akhlak, tanggung jawab, dan kejujuran. Demokrasi sejati tidak bisa tumbuh dari tanah yang dibanjiri uang, tapi ditanah yang dipupuk dengan kesadaran. Setiap warga mempunyai tanggung jawab untuk menolak uang politik dan menegakan nilai moral dalam setiap proses politik. Jika masyarakat berani berkata”tidak”pada uang fajar maka mereka sedang menyalakan fajar yang sesungguhnya, kesadaran fajar politik yang akan membawa desa menuju masa depan yang lebih terang.
Cirebon bisa menjadi contoh bahwa di desa bukan hanya sekedar perebutan jabatan, tapi ruang untuk mengabdi. Untuk sampai kesana, kita harus berani membuka luka lama, luka akibat politik uang, konflik pilkades, dan rendahnya literasi politik. Dengan membuka ruang diskusi, menumbuhkan kesadaran, dan menolak melakukan transaksional, politik di Cirebon bisa kembali ke jati dirinya sebagai politik yang berbasis nilai, bukan nominal, dan bisa menjadi suatu contoh yang baik untuk warga Indonesia. Sebab hanya dengan politik yang jujur, desa bisa menjadi tempat lahirnya pemimpin yang benar-benar bekerja untuk rakyatnya.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”