Belakangan ini, muncul kabar bahwa pengemudi ojek online (ojol) kemungkinan tidak akan termasuk dalam penerima bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite. Terdapat alasan pemerintah, sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yaitu kendaraan ojol dianggap digunakan untuk usaha. Pemerintah berencana mengarahkan subsidi untuk mendukung transformasi ekonomi agar lebih tepat sasaran.
“Ojek dia bisa pakai untuk usaha. Ojek itu alhamdulillah, kalau motor itu, motor punya saudara-saudara kita yang bawa motornya. Tapi sebagian kan juga punya orang yang kemudian saudara-saudara kita yang bawa itu dipekerjakan. Masa yang kayak gini disubsidi,” kata Bahlil Lahadalia
Namun, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar apakah para pengemudi ojol tidak layak menerima subsidi? Bukankah mereka adalah bagian dari masyarakat kecil yang paling merasakan beban naiknya harga BBM? Mengelompokkan mereka sebagai “pelaku usaha” jelas kurang tepat, karena pada dasarnya sebagian besar pengemudi ojol hanyalah pekerja harian yang pendapatannya tidak disebutkan.
Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Online Garda Indonesia Igun Wicaksono mengatakan bahwa apa yang disampaikan oleh Menteri ESDM dapat memicu gelombang masalah, ia menilai bahwa Keputusan tersebut menantang para pengemudi ojol untuk melakukan protes.
“Pernyataan yang disampaikan Pak Bahlil ini merupakan pernyataan menantang para pengemudi ojol untuk melakukan protes besar terhadap pemerintah, blunder apalagi yang akan disampaikan pemerintah ini,” kata Igun Wicaksono
Masalah lain juga muncul terkait perbedaan antara pelat hitam dan pelat kuning. Pada aturan lalu lintas, kendaraan dengan pelat kuning dianggap sebagai kendaraan umum, seperti angkutan kota atau taksi, yang jelas-jelas beroperasi secara komersial. Sedangkan kendaraan ojol sebagian besar masih menggunakan pelat hitam karena mereka membeli motor pribadi, lalu mendaftarkannya ke aplikasi. Jika alasan pemerintah tidak memberikan subsidi karena motor ojol dipakai “untuk usaha”, maka hal itu kontradiktif. Sebab, dari sisi regulasi mereka tetap menggunakan pelat hitam, bukan pelat kuning yang memang ditujukan untuk kendaraan usaha.
Subsidi BBM seharusnya hadir untuk membantu masyarakat kecil, terutama yang menggantungkan hidupnya pada transportasi. Para pengemudi ojol termasuk kelompok rentan yang setiap hari bekerja di jalanan demi menghidupi keluarga. Ketika pemerintah memutuskan untuk menghapus hak mereka atas subsidi BBM, beban hidup akan semakin berat. Ongkos operasional naik, sedangkan tarif perjalanan ojol relatif tetap dan bahkan sering dipotong oleh aplikasi. Akhirnya, yang dirugikan adalah pengemudi itu sendiri.
Di sisi lain, pemerintah sering berbicara mengenai “subsidi tepat sasaran”. Tentu saja, prinsip ini sangat baik jika benar-benar dilaksanakan. Tetapi tepat sasaran bukan berarti menghapus hak kelompok kecil yang paling terdampak. Dalam hal ini, pengemudi ojol adalah contoh nyata rakyat yang berjuang di sektor informal tanpa jaminan pekerjaan tetap. Mereka bukanlah pengusaha besar yang memiliki banyak aset, melainkan pekerja yang bergantung pada kendaraan roda dua dan kuota internet untuk bertahan hidup.
Kita juga perlu mengingat bahwa ojol bukan sekedar profesi, melainkan bagian penting dari roda ekonomi masyarakat. Mereka membantu mobilitas warga, mengantarkan barang, bahkan menjadi tumpuan transportasi murah di kota-kota besar. Ironisnya rasanya jika mereka yang berjasa besar dalam menggerakkan perekonomian justru dipinggirkan dari kebijakan subsidi BBM.
Transformasi ekonomi yang dicanangkan pemerintah memang penting. Namun, jangan sampai jargon besar ini justru mengorbankan rakyat kecil. Transformasi seharusnya mencakup keberpihakan kepada pekerja lapisan bawah, bukan malah mengabaikan mereka. Jika benar-benar ingin adil, pemerintah seharusnya menyusun skema subsidi yang mempertimbangkan kondisi pengemudi ojol, termasuk masalah pelat hitam dan kuning, bukan serta-merta Menghapuskan hak mereka dengan alasan formal “kendaraan untuk usaha”.
Sebagai pelajar sekaligus masyarakat, saya menilai kebijakan seperti ini mencerminkan jarak antara pengambil keputusan dengan kenyataan rakyat di lapangan. Subsidi BBM adalah hak masyarakat kecil, dan pengemudi ojol termasuk di dalamnya. Seharusnya pemerintah mendengarkan suara mereka, bukan sekadar memandang dari kacamata birokrasi.
Pada akhirnya, kita berharap pemerintah bisa menghadirkan kebijakan yang benar-benar pro-rakyat. Jangan biarkan pengemudi ojol yang setiap hari bekerja keras untuk menghidupi keluarga dan melayani masyarakat menjadi korban dari kebijakan yang tidak membumi. Subsidi BBM seharusnya melindungi mereka, bukan meninggalkan mereka.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”