Berita tentang kenaikan anggaran reses DPR untuk tahun 2025 telah memicu kekhawatiran dan reaksi negatif dari masyarakat umum. Hal ini disebabkan karena alokasi anggaran, yang sebelumnya sekitar Rp400 juta per anggota, kini naik menjadi Rp702 juta per periode reses. Kenaikan ini menimbulkan keraguan serius: apakah langkah ini benar-benar bertujuan untuk melayani kepentingan rakyat, ataukah hanya dalih untuk melindungi kepentingan pribadi wakil rakyat dengan dalih pelayanan publik?
Secara regulasi, masa reses dimaksudkan sebagai kesempatan bagi anggota DPR untuk kembali ke daerah pemilihan mereka, mengumpulkan masukan dari masyarakat, dan memastikan bahwa kebijakan yang dibuat di parlemen tetap relevan dengan kebutuhan rakyat. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 Pasal 239. Secara teori, masa reses mencerminkan hubungan langsung antara rakyat dan wakil-wakilnya di legislatif. Namun, dalam praktiknya, kegiatan ini seringkali menyimpang dari tujuannya, berubah menjadi acara formal yang tidak bermakna atau kunjungan rutin tanpa dampak nyata.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Sufmi Dasco Ahmad, menjelaskan bahwa kenaikan anggaran disebabkan oleh penambahan lokasi kunjungan dan penyesuaian biaya berdasarkan indeks aktivitas sebelumnya. Argumen ini masuk akal, karena semakin luas cakupan kunjungan, semakin besar pula kebutuhan pendanaan. Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut: seberapa akurat kenaikan ini dan apakah perhitungannya dapat diverifikasi secara terbuka? Tanpa data yang tersedia secara publik, penjelasan ini tampak samar dan sulit diverifikasi.
Kekhawatiran publik tidak tanpa alasan. Beberapa laporan sebelumnya menyebutkan kenaikan sementara hingga Rp756 juta per anggota, yang kemudian dikoreksi sebagai “kesalahan transfer” dan dikembalikan menjadi Rp702 juta. Insiden ini mengungkap kelemahan dalam pengelolaan dana reses dan memperkuat dugaan bahwa anggaran dapat diubah sesuai dinamika internal DPR. Selain itu, organisasi seperti Pusat Penelitian Parlemen Indonesia (IPC) dan Formappi menyoroti kurangnya akuntabilitas DPR dalam mengelola dana tersebut. Karena tidak ada mekanisme pelaporan transparan kepada publik, penggunaan dana tersebut yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yaitu dari pajak rakyat hampir sepenuhnya di luar pengawasan publik.
Lebih ironis lagi, keputusan ini diambil di tengah tantangan ekonomi nasional yang semakin parah. Sementara masyarakat kesulitan menghadapi kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok dan ketidakpastian finansial, para wakil rakyat justru meningkatkan alokasi dana untuk diri mereka sendiri. Masyarakat melihat hal ini sebagai bentuk pemborosan, terutama karena laporan tentang pelaksanaan reses jarang dibagikan secara terbuka. Seolah-olah DPR berusaha meyakinkan masyarakat bahwa setiap rupiah digunakan untuk kepentingan rakyat, padahal masyarakat tidak diberi akses untuk memverifikasi hal tersebut.
Selain itu, dari perspektif moral dan keadilan sosial, masyarakat mempertanyakan bagaimana wakil-wakil yang mengklaim mewakili kepentingan publik dapat meminta dana tambahan di masa-masa sulit ini. Meskipun alasannya adalah untuk memperluas pengumpulan aspirasi, bukankah kemajuan teknologi informasi saat ini seharusnya mengurangi biaya daripada meningkatkannya? Di era digital, anggota DPR dapat memanfaatkan platform online, survei online, atau diskusi virtual untuk mengumpulkan masukan masyarakat secara lebih efisien daripada kunjungan fisik yang mahal.
Inti dari masalah ini terletak pada kurangnya transparansi. Tanpa sistem pelaporan yang dapat diakses oleh publik, sulit bagi masyarakat untuk mengetahui apakah dana reses benar-benar digunakan untuk tujuan yang dimaksud. Laporan kegiatan harus mencakup rincian seperti lokasi kunjungan, jumlah peserta, aspirasi yang diperoleh, dan bukti pengeluaran, serta diunggah secara online. Usulan dari pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat untuk menciptakan aplikasi pelaporan publik dapat menjadi langkah awal yang baik, namun hal ini memerlukan komitmen politik yang kuat agar tidak hanya menjadi janji belaka tanpa realisasi.
Selain itu, masyarakat juga mendesak adanya pengawasan independen terhadap dana reses. Audit rutin oleh lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau organisasi masyarakat sipil harus dilakukan, dengan hasilnya dipublikasikan secara luas. Jika ditemukan ketidakberesan atau laporan palsu, sanksi yang ketat baik administratif maupun hukum harus diterapkan. Tanpa pengawasan semacam itu, masa reses berisiko menjadi sarana pelanggaran yang tersembunyi di balik prosedur resmi. Sangat ironi, sesuatu yang dirancang untuk memperkuat ikatan antara wakil rakyat dan masyarakat justru dapat merusak kepercayaan publik terhadap parlemen.
Pada akhirnya, peningkatan anggaran reses ini mencerminkan masalah lama dalam dunia politik kita yaitu ketidakseimbangan antara kata-kata dan tindakan. Di depan publik, DPR sering menekankan dedikasi, mengumpulkan aspirasi, dan mewakili rakyat. Namun, keputusan seperti ini menunjukkan bahwa kepentingan pribadi diutamakan. Peningkatan dana ini seolah-olah melambangkan bahwa di balik retorika pelayanan, masih ada upaya untuk mempertahankan privilese dan kekuasaan.
Masyarakat tidak mengharapkan wakil-wakil mereka bekerja tanpa dukungan finansial. Yang dibutuhkan adalah kejelasan, kejujuran, dan hasil konkret dari setiap pengeluaran. Jika dana Rp702 juta memang digunakan untuk memperluas pengumpulan aspirasi, maka DPR harus membuktikannya dengan data yang transparan. Namun, jika tidak, masyarakat berhak melihat peningkatan ini sebagai alasan yang tidak tulus strategi yang dibungkus dalam narasi “melayani kepentingan rakyat”, padahal pada kenyataannya untuk kepentingan mereka sendiri.
Dewan Perwakilan Rakyat perlu memahami bahwa legitimasi politik tidak dibangun berdasarkan besarnya anggaran yang dialokasikan, melainkan atas kepercayaan rakyat yang terus-menerus ditanamkan melalui tindakan konkret dan transparansi. Tanpa perubahan dalam cara berpikir dan mengelola dana, keputusan ini akan tetap menjadi simbol ketidakseimbangan moral antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakili. Karena pada dasarnya, kepentingan rakyat harus dibuktikan melalui tindakan yang jujur, terbuka, dan bertanggung jawab, bukan hanya melalui kata-kata yang diucapkan.
Sumber :
Video YouTube — “Dana Reses DPR RI Kini Rp 702 Juta, Formappi” (wawancara/diskusi kritik)
HukumOnline — “Dana Reses DPR RI Naik Jadi Rp702 Juta, Dasco Beri Penjelasan”
BeritaSatu — “Dana Reses DPR Naik Jadi Rp 702 Juta, Dasco Sebut Hanya Penyesuaian Indeks, Penambahan Titik”
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”